Rabu, 06 Mei 2009

PAUD di Wilayah Pedesaan/Pinggiran Kota

Kurang Dipahami, Diselenggarakan ala Kadarnya
Fakta bahwa PAUD masih belum sepenuhnya bersambut dengan partisipasi masyarakat tidak lah dapat dipungkiri. Kesadaran masyarakat, terutama pedesaan dan pinggiran kota, masih butuh rangsangan untuk dapat secara langsung didapatkan. Asalkan semua diawali tanpa embel-embel biaya alias gratis, sebagian besar masyarakat baru akan berbondong-bondong menitipkan pendidikan anak-anaknya.

Fakta semacam ini dialami PAUD Permata Bunda Kedung Pedaringan, Kepanjen. PAUD yang resmi didirikan 19 Maret 2008 ini memiliki perkembangan jumlah peserta didik besar karena memang bebas biaya pendidikan apapun. Tak kurang dari 30 anak usia 2-5 tahun menjadi peserta didik PAUD yang menempati ruang pembelajaran pinjam pakai milik PKK desa setempat ini.

Dengan bermodal dana TP PKK sebesar Rp 100 ribu dan, jika ada, bantuan donatur, PAUD Permata Bunda tidak jarang kelimpungan menyediakan bahan belajar dan memenuhi kebutuhan pembelajaran peserta didiknya. Alat permainan balok lengkap, alat musik (seni peran), APE luar belum dimiliki sama sekali. Bahkan, honor tutor seringkali tidak dapat dipenuhi.

”Kami tidak punya APE luar satu pun. PAUD Permata Bunda juga belum bisa melakukan pengelompokan peserta didik berdasarkan umur akibat jumlah lokal yang terbatas.
Pengeras suara/ tape untuk senam dan kegiatan luar, demikian tutor PAUD Permata Bunda, Khaula Muflikawati.

Akibat kondisi ini, pihaknya kerap berpikir keras tentang kelangsungan pendidikan PAUD Permata Bunda di kemudian hari. ”Lebih banyak mengandalkan kreativitas pengelola dan tutor dalam membuat bahan belajar anak. Tak jarang, kami harus menyalin dan menggunting satu-persatu model gambar karena tidak mampu menggandakan,” beber Khaula yang mengatakan sempat meminjam dana Pokja IV guna menutupi segala kekurangan dan keterbatasan yang ada.

Hal serupa juga dialami penyelenggara PAUD Khodijah Desa Tegalsari. Dengan kondisi kelas perekonomian masyarakat menengah-bawah, kesadaran terhadap pendidikan anak usia dini atau pra-sekolah bagaikan barang langka. Sampai-sampai, pihak pengelola PAUD Khodijah harus menegaskan berulang-ulang kepada setiap individu bahwa PAUD yang dikelola tidak memungut biaya pendidikan.

Model pendidikan ala PAUD juga belum dipahami secara memadai oleh masyarakat. Hingga, penyelenggara PAUD Khodijah mengintegrasikan pembelajarannya ke dalam kegiatan Posyandu yang rutin diselenggarakan TP PKK Desa Tegalsari. ”Lambat laun, masyarakat mulai paham dan tertarik mengikutkan anak-anaknya ke dalam kelompok bermain Bina Balita PAUD dalam kegiatan Posyandu,” aku Choiriyah, ketua PAUD Khodijah.

Hanya, tambah Choiriyah, meningkatnya kesadaran masyarakat mengikutkan pendidikan anaknya di PAUD Khodijah masih belum sebanding dengan fasilitas dan prasarana yang dimiliki. Pengelola PAUD Khodijah terpaksa menempati salah satu ruangan kantor desa yang kurang terawat tanpa plafon dan berlantai ubin. Tidak ada fasilitas ruang kelas dan sentra kegiatan nyaman karena satu-satunya ruangan yang dipakai hanya beralas karpet dekil dan bersekat papan kayu triplek.

Bahkan, alat-alat permainan yang dimiliki terkesan sudah lusuh dan kusut karena memang barang bekas pakai sumbangan seadanya dari beberapa anak warga sekitar. Dua APE luar yang ada pun sudah termakan usia harus dipakai secara bergantian, bahkan rebutan, oleh peserta didik.

”Ruang dan APE kami memang masih seadanya. Namun, kami tidak berani meminta biaya pendidikan orang tua yang masih belum memiliki kesadaran pendidikan anak tinggi di sini. Ya, PAUD Khodijah terpaksa membuat kotak infaq untuk dapat diisi walimurid secara sukarela,” beber Choiriyah bercerita.

Sumber :koran pendidikan.com
Senin, 12 Mei 2008 08:12:11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar