Sabtu, 02 Mei 2009

Bersekolah Belajar di Rumah

Belajar di rumah lebih relaks dibandingkan dengan belajar di sekolah. Bagaimana hasilnya?

Hampir seratus tahun lampau Rabindranath Tagore, peraih Nobel Sastra tahun 1913, menyelorohkan ucapan bernada pahit itu. ‘’Sekolah adalah siksaan tak tertahankan.’’ Dan Tagore tak keliru. Di Indonesia, mungkin juga tempat lainnya, serapah Tagore telah mewujud sejak lama. Ketika siksaan seolah tak tertahankan, maka sekolah dan ‘penjara’ bagai dua entitas yang sulit dibedakan.

Tapi siapa bilang sekolah selamanya harus seperti ‘penjara’? Bagi Ratna Megawangi ‘penjara’ itu harus dirubuhkan. Tak tega melihat anaknya stres akibat banyaknya pekerjaan rumah, dan buntutnya jadi kehilangan semangat belajar, Ratna mengambil langkah berani.

Dikabulkannya keinginan si anak, yang saat itu kelas satu SMA, keluar dari sekolah. Lantas, Ratna pun membangun sendiri ‘sekolah’ di rumahnya yang asri. Didatangkannya guru privat jempolan.

Sejak saat itu si anak belajar di rumah. Tak lagi ada mata pelajaran yang padat, penyajian materi yang membosankan, atau bangku kelas yang keras. Kini ia bisa berselonjor di atas karpet, sambil menyimak uraian matematika, fisika, atau Bahasa Inggris bak dendangan dawai yang menenangkan.

Dan perubahan itu tampak jelas. ‘’Ia tampak bahagia sekali, gairah belajarnya malah jadi menggebu-gebu. Anehnya, jika sewaktu di sekolah ia tidak mahir berbahasa Inggris, kini setelah belajar di rumah ia fasih berbahasa Inggris dalam tempo cepat,’’ tutur Ratna yang istri Menkominfo Sofyan Jalil itu, Kamis (5/5).

Seperti Ratna, Yayah Komariah SPd, seorang mantan guru SD, juga mengambil langkah berani itu. Rumahnya di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, kini tak lagi sekadar menjadi tempat tidur atau makan bagi anak-anaknya, tapi sekaligus tempat belajar.

Setiap pagi, empat anaknya (kelas 1 dan 2 SD serta setingkat TK) tak berangkat ke sekolah seperti lazimnya anak-anak seusia mereka. Alih-alih berpanas-panasan ikut upacara bendera, mereka malah berselonjor bebas di ruang tengah rumahnya, sembari menyimak ocehan sang guru. Pengajarnya? Tak lain sang ibu mereka, Yayah, yang berpengalaman jadi guru SD selama 10 tahun.

Bagaimana Yayah menyelenggarakan pendidikan di rumahnya? Kurikulumnya, kata Yayah, tetap berbasis kurikulum nasional, namun dengan inovasi di sana-sini, terutama porsi praktik dan mobilitas yang diperbanyak. Betapa cerianya Yayah dan anak-anaknya.

Untuk mengajarkan materi transportasi, misalnya, si anak—beserta enam anak lain tetangganya—harus turun langsung ke jalan. Semua alat transportasi dijajal, dari ojek motor, kereta api, hingga busway.

Lantas mereka diminta menceritakan pengalamannya itu dalam bentuk narasi, sekaligus belajar Bahasa Indonesia. Mereka disuruh menghitung jumlah roda bus Transjakarta, sekaligus belajar matematika.

‘’Kegiatan belajar dibuat fun. Mereka juga langsung bersentuhan dengan realitas, sehingga bukan melulu teori. Ini membuat mereka lebih ceria dan menjadi lebih kreatif. Potensinya mereka bisa dimunculkan,’’ tutur Yayah.

Bukan cuma Ratna atau Yayah, psikolog kondang, Dr Seto Mulyadi, termasuk yang setuju betul terhadap metode homeschooling alias belajar di rumah itu. Beberapa waktu ini, anak Seto yang setingkat SMA, tak lagi belajar di sekolah umum melainkan menjadi homescholler. ‘’Sekarang dia malah akan mendaftar di salah satu perguruan tinggi di Jakarta,’’ paparnya.
Bangkitkan potensi

Inilah tren pendidikan anyar di Indonesia, yang boleh dibilang antitesis terhadap metode pendidikan konvensional yang terbilang ‘gagal mencerahkan’. Seringkali anak malah gagal mengembangkan potensinya.

‘’Berapa banyak anak yang sewaktu kecil tampak semangat belajar, namun ketika masuk ke sekolah malah jadi pemalas dan pemalu. Padahal mereka punya hak untuk berkembang,’’ tutur Seto di sela-sela pendeklarasian Asosiasi Homeschooling dan Pendidikan Alternatif (ASAH PENA) di Jakarta, Kamis (5/5).

Keluhan terhadap sistem pendidikan di negeri ini memang seabrek. Jam mata pelajaran yang melimpah, adalah salah satu alasan murid menjadi luar biasa jenuh. Jika UNESCO menyaratkan 800-900 jam pelajaran per tahun untuk SD, Indonesia malah memberlakukan 1.400-an jam per tahun. Sekolah tak lagi menyenangkan.

Belum lagi cara penyampaian yang kurang kreatif, otoriter, atau pekerjaan rumah yang segudang. ‘’Pembelajaran otoriter (murid harus bisa semua pelajaran) seringkali membuat sekolah menjadi beban. Padahal, jangan sampai anak layu sebelum berkembang,’’ papar Ratna.

Di homeschooling, pendekatan yang diberikan adalah sebaliknya. Siswa tidak dipaksa harus mampu di satu mata pelajaran, seperti matematika, misalnya. Jika dia berbakat di bidang lain, seperti bahasa, maka itulah yang harus dikembangkan.

Setiap anak, kata Seto, unik. Karena itulah, di homeschooling yang diterapkan adalah pendekatan individual. ‘’Ini justru lebih dapat membangunkan potensi mereka. Ini kelak membuat konsep diri yang positif pada si anak,’’ paparnya.

Seto, yang melakukan homeschooling, menyatakan bahwa materi kurikulum seratus persen mengacu pada kurikulum nasional yang mencakup lima materi. Yakni iptek, kewarganegaraan, keolahragaan, etika, dan estetika. ‘’Hanya, metodenya berbeda. Sekolah dibuat seperti tamasya yang menyenangkan,’’ kata dia.

Saat ini Seto tengah berjuang agar Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengeluarkan standar minimal homeschooling di Indonesia. Maksudnya supaya metode ini memperoleh pengakuan yang lebih besar.

Menurut Seto, program homeschooling bukanlah barang baru. Banyak tokoh dunia yang berangkat dari model pendidikan seperti begini. Sebut saja mantan presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln dan Theodore Roosevelt, Alexander Graham Bell (penemu telepon), atau pahlawan nasional KH Agus Salim. Siapa bilang sekolah formal jalan satu-satunya buat pintar?

Ikhtisar

1. Daripada anak tersiksa di sekolah, orang tua menyilakan anaknya berhenti bersekolah.
2. Dengan bimbingan orang tua, anak belajar di rumah dengan materi berdasarkan kurikulum nasional.
3. Ratna Megawati dan Seto Mulyadi termasuk orang tua yang mengajar anaknya di rumah.
4. Murid sekolah rumah boleh ikut ujian persamaan.

Orang Tua Harus Kompeten

Menurut Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas, Ella Yulailawati, homeschooling sudah diatur dalam UU Sisdiknas, dan dikategorikan dalam jenis pendidikan informal atau nonformal. Peserta, menurut dia, dapat mengikuti ujian kesetaraan lewat ujian paket A, B, atau C.

Hanya, menurut dia, perlu ada verifikasi apakah sang pengajar benar-benar kompeten untuk menggantikan materi belajar di sekolah biasa. Selain itu, Depdiknas juga perlu tahu komitmen si orang tua untuk dapat menyajikan pendidikan berkesinambungan buat anaknya (letter of comitment).

Hingga akhirnya mengikuti ujian keseteraan, hasil pendidikan si anak perlu dilaporkan secara rutin kepada dinas pendidikan setempat. ‘’Kita sedang buat aturan petunjuk pelaksanaannya, termasuk supaya si anak tidak perlu ikut kegiatan belajar mengajar di kejar paket A, B, dan C, seperti aturan saat ini,’’ kata Ella.

Meski mengandung sejumlah keunggulan, menurut Ella, homeschooling juga memiliki beberapa kelemahan. ‘’Dengan belajar di sekolah umum, kita bertemua banyak orang dan realitas sesungguhnya. Itu unik, dan si anak diajarkan untuk berkompetisi sejak awal,’’ paparnya.

Sumber :Homeschooling Primagama.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar