Jumat, 08 Mei 2009

Demokrasi dan Urgensi Pendidikan Agama

Salah satu indikator keberhasilan demokrasi adalah adanya kontrol dan transparansi yang dapat menegasikan segala bentuk distorsi dan deviasi. Kontrol yang kuat baik dalam bentuk peraturan maupun kebijakan sejatinya memberi efek jera atas berbagai penyimpangan yang terjadi. Namun, apa yang tampak dalam kenyataan masih jauh dari harapan.

Bahkan kian hari tindak penyimpangan semakin kentara. Koruptor dibui, korupsi tak juga mati. Otonomi daerah dan kesetaraan lembaga negara menjadi sawah baru yang menyuburkan korupsi secara merata. Kalau demikian, di manakah efek demokrasi bagi perbaikan moral bangsa? Pertanyaan ini penting karena demokrasi menawarkan koreksi dan introspeksi bagi terciptanya clean and good governance melalui seperangkat peraturan dan berbagai kebijakan yang tersedia.

Kita telah membangun perangkat dan prosedur-prosedur demokrasi melalui kebijakan dan undang-undang yang disahkan oleh lembaga legislatif. Namun sayang, prosedur itu tinggal prosedur dan menjadi monumen kerja-kerja para wakil rakyat tanpa korelasi dengan tingkah laku. Ini semua akibat prosedur berdiri di atas landasan moral dan nilai-nilai yang rapuh.

Pendidikan merupakan upaya menguatkan landasan moral dan nilai-nilai itu. Namun harus diakui, sistem nilai dan moral yang terbangun dari dunia pendidikan masih jauh dari harapan. Distorsi dan deviasi antara prosedur dan kultur yang terjadi saat ini menjadi bukti konkret kegagalan dunia pendidikan dalam membangun nilai dan moral.

Problem kultural
Sebagai bangsa yang beragama, kita sebenarnya memiliki akar yang sangat kuat dalam hal moralitas dan etika. Bahkan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara khusus menekankan urgensi pendidikan bagi peningkatan keimanan dan akhlak. Pasal 31 ayat (3) menyebutkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia…”

Urgensi pendidikan agama tidak bisa dilepaskan dari persepsi masyarakat terhadap agama itu sendiri. Selama ini masyarakat memersepsikan masalah agama sebagai kegiatan sakral dan bersifat spiritual sehingga penanganannya dilakukan secara khusus. Hal ini bisa dilihat dari perlakuan masyarakat terhadap guru agama dibandingkan dengan guru lainnya.

Guru agama masih ditempatkan sebagai juru dakwah sehingga penghargaannya pun berbeda dengan guru di bidang lainnya. Dakwah diidentikkan dengan pahala dan keikhlasan.

Di samping itu, mata pelajaran agama masih ditempatkan sebagai suplemen dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya dan ada yang menganggap mata ajaran agama sebagai kegiatan mikro. Ia dimasukkan dalam kategori pendidikan moral (akhlak) yang dalam sudut pandang pragmatisme dianggap sekunder.

Karena itu, agama dipelajari sekadar upaya untuk memberi landasan moral untuk bertindak. Bahkan, sebagian masyarakat mempelajari agama hanya untuk memenuhi tuntutan moral sebagai umat beragama. Inilah problem kultural yang muncul di tengah masyarakat transisional (anomalis) seperti yang sedang berlangsung saat ini.Problem struktural
Di samping problem kultural, persoalan pendidikan agama juga terkait dengan sistem pendidikan nasional yang masih bersifat diferensial. Departementasi keagamaan yang dilakukan negara berdampak pada sistem pendidikan (pengembangan) ajaran agama.

Keberadaan Departemen Agama sebagai institusi negara yang bertanggung jawab terhadap seluruh proses pengembangan agama dengan sendirinya terkait dengan pendidikan agama. Di sinilah dualisme cara pandang negara terhadap pendidikan.

Sistem pendidikan yang dikelola oleh negara seharusnya menjadi tanggung jawab Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Namun, pada kenyataannya ada pembagian tugas berdasarkan perbedaan ranah masing-masing departemen. Pendidikan yang terkait dengan agama menjadi beban dan tanggung jawab Departemen Agama.

Pembagian ini pada dasarnya melahirkan dua konsekuensi dengan segala plus minusnya. Pengelolaan pendidikan agama di bawah Departemen Agama bisa menjadi langkah yang lebih fokus dan efektif bagi pengembangan pendidikan agama.

Namun di sisi lain, pembagian tugas ini bisa tidak maksimal karena Departemen Agama bukan bagian yang secara khusus mengurus masalah pendidikan. Lebih dari itu, pembagian ini berkonsekuensi pada penyediaan dana negara yang terbatas dan berbeda.

Hal tersebut terlihat dari perlakuan negara terhadap lembaga pendidikan yang dikelola Depdiknas dengan lembaga pendidikan yang dikelola Departemen Agama. Fasilitas dan dana yang tersedia bagi pendidikan agama jauh di bawah anggaran yang diperuntukkan bagi pendidikan umum. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan paradigma dalam melihat sistem pendidikan.

Pendidikan keagamaan masih dilihat sebagai bagian dari proses pengembangan agama (dakwah) dan penanaman nilai-nilai. Karena itu, dana yang tersedia pun terbatas dibandingkan dengan dana pendidikan yang dikelola langsung Depdiknas.Meretas problem
Melihat problem kultural dan struktural di atas, maka masa depan pendidikan agama tergantung pada upaya rekonstruksi terhadap dua problem tersebut. Persoalan struktural (dualitas kelembagaan) bisa diselesaikan melalui komitmen politik (political will) untuk merekonstruksi sistem pendidikan nasional menjadi satu atap sehingga pengelolaannya lebih maksimal.

Lebih dari itu, dengan sistem pendidikan yang terpadu ini akan menghapus perlakuan diskriminatif atas guru pendidikan agama. Semua guru akan diperlakukan sama karena berada dalam satu sistem pengelolaan.

Guru agama harus diberi kesempatan dan dibantu untuk melanjutkan studi yang lebih tinggi dan diberi kesempatan yang sama dengan guru lainnya untuk menduduki jabatan struktural berdasarkan kompetensi. Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah problem kultural yang masih memersepsi pendidikan agama sekadar suplemen dari seluruh mata ajaran yang ada.

Karena itu, perlu ditumbuhkan kesadaran tentang pentingnya moralitas dan etika yang hanya bisa tumbuh melalui pendidikan agama. Sebagai bangsa yang dikenal religius seharusnya menjadi modal dasar bagi urgensi pendidikan agama sehingga masyarakat mengubah persepsinya tentang pendidikan agama dari sekadar suplemen menjadi pelajaran pokok yang akan mengantarkan masa depan generasi muda yang cerdas secara intelektual dan moral.

Banyak fakta yang bisa diungkap untuk menumbuhkan kesadaran baru tentang urgensi pendidikan agama. Kondisi politik, ekonomi, dan hukum yang belum sepenuhnya berjalan di jalur yang benar menunjukkan rapuhnya landasan moral sehingga memicu perilaku-perilaku menyimpang yang merugikan rakyat.

Merebaknya KKN menjadi bukti nyata hancurnya moral dan etika bangsa yang telanjur disebut religius ini. Agama baru menjadi ritual yang dilaksanakan secara formal dan belum sepenuhnya terinternalisasi ke dalam kesadaran anak bangsa.

Internalisasi nilai-nilai agama sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara akan berhasil maksimal apabila dilakukan melalui proses pendidikan agama secara gradual dan intensif. Inilah kerangka dasar yang harus ditumbuhkan sehingga mendorong semua pihak merasakan urgensi pendidikan agama di tengah transisi.

Sumber :Republika.com
Friday September 19,2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar