Rabu, 18 Maret 2009

Pendidikan Korupsi di Sekolah Menengah Masih Kurang

YOGYAKARTA, RABU - Pendidikan korupsi di sekolah menengah masih dianggap kurang. Para siswa jarang diajarkan tentang seluk-beluk tindak korupsi, termasuk transparansi dalam penyusunan rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah.
Pendidikan korupsi di sekolah tidak ada. Untuk pelajaran PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) pun hanya disinggung sedikit, kata Rizky Bayu Premana, Koordinator aksi damai Kampanye Simpatik 100 Pelajar se-DIY Peserta Sekolah Antikorupsi Clean Generation, di perempatan kantor Pos Besar Yogyakarta, Rabu (24/9) sore.

Aksi damai ini menjadi salah satu bagian dari sekolah anti korupsi (semacam pesantren kilat) yang diikuti oleh pengurus organisasi siswa intra sekolah (OSIS) dan kehiatan rohani Islam (rohis) dari 20 sekolah di DIY.
Pelatihan yang dimotori oleh Forum Pemuda Anti Korupsi (FPAK) bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat Kemitraan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini berlangsung 23-25 September, dengan pemberian materi seputar korupsi, pembahasan kasus-kasus korupsi, dan diskusi antarpeserta.
Ketua FPAK Suraji mengatakan pelatihan ini merupakan rangkaian awal dari program yang direncanakan akan berlangsung selama setahun penuh. " Nantinya, sebanyak seratus siswa SMA di DIY setiap bulan akan mendapat pelatihan antokorupsi ini," katanya.

Lebih jauh, Suraji mengatakan pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dan informasi secara mendalam seputar korupsi kepada siswa-siwa tersebut. "Kalau mereka sudah paham, maka mereka bisa mengetahui dan ikut mengawasi jika terdapat praktek-praktek korupsi di lingkungan sekitar mereka," katanya.
Pasalnya, Suraji melihat sekolah sebagai lembaga pendidikan selama ini menjadi sangat rentan terhadap berbagai praktek korupsi. Hal ini tidak terlepas dari begitu banyaknya dana yang dialokasikan untuk program-program pendidikan oleh pemerintah seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Sasaran pelatihan pada anak SMA juga dilandasi pemikiran bahwa remaja merupakan usia paling produktif dan relatif lebih mudah dalam menyerap pengetahuan dibanding kelompok usia lain. Penanaman nilai-nilai antikorupsi sejak dini juga dinilai sebagai investasi jangka panjang yang akan menguntungkan di masa depan.
Manfaat pelatihan dirasakan langsung oleh peserta. Menurut Rizky dirinya memeroleh banyak pengetahuan, mulai dari posisi Indonesia yang ternyata menduduki peringkat keempat negara paling korup di dunia, hingga bagaimana cara generasi muda ikut serta memberantas korupsi. Ada tiga cara memberantas korupsi, yakni dengan partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, ujarnya.

Sumber : Rabu, 24 September 2008 | 19:37 WIB
Kompas.com

Prioritas Anggaran Pendidikan 20 Persen

Jakarta, Rabu (5 November 2008) -- Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo mengatakan, prioritas penggunaan anggaran sebanyak 20 persen dari APBN bidang pendidikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen, menuntaskan wajib belajar 9 tahun dengan kualitas yang lebih baik, murah, dan terjangkau, akses mutu dan relevansi pendidikan menengah dan pendidikan tinggi yang lebih baik, serta mutu dan relevansi penelitian yang lebih baik.
"Kemudian para peraih medali pada olimpiade matematika sains dan teknologi tingkat internasional mendapatkan jaminan melanjutkan pendidikan di manapun dengan beasiswa pemerintah. Ini arahan bapak presiden. Lalu pendidikan nonformal yang lebih baik dan penguatan tata kelola," kata Mendiknas pada Rapat Teknis Bidang Pendidikan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) di Hotel Sahid, Rabu (5/11/2008).

Pada acara yang dihadiri para bupati dan para kepala dinas pendidikan dari seluruh Indonesia ini, Mendiknas menyampaikan fokus rencana kerja pemerintah (RKP) 2009. Mendiknas menjelaskan, penuntasan program wajib belajar pendidikan sembilan tahun akan dikhususkan bagi daerah yang kinerja pendidikannya masih tertinggal. Pada tingkat nasional, kata Mendiknas, target wajib belajar yang diukur dengan angka partisipasi kasar tingkat SMP/MTs sudah tercapai yakni 95 persen. "Beberapa provinsi sudah bisa memenuhi dan hampir separuh dari kabupaten kota juga sudah memenuhi, tetapi masih cukup banyak kabupaten yang belum bisa memenuhi 95 persen meskipun pada tingkat provinsinya sudah tuntas," katanya.

Lebih lanjut Mendiknas menjelaskan, terobosan kebijakan pendidikan yang bersifat masal dan mendasar diantaranya adalah program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) serta peningkatan kompetensi, kualifikasi, dan sertifikasi guru. "Pemerintah Pusat setiap tahunnya mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk membantu para guru itu mendapatkan S1-nya," katanya.

Program selanjutnya, kata Mendiknas, adalah penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk e-pembelajaran dan e-administrasi. Menurut Mendiknas, pendidikan yang berbasis komputer dan internet ini sudah dimulai terutama pada pendidikan menengah. "SMK sudah tinggal sedikit yang tidak punya laboratorium komputer, sedangkan SMA kurang lebih baru separuh," ujarnya.

Pemerintah, lanjut Mendiknas, juga akan melakukan pembangunan prasarana dan sarana pendidikan seperti laboratorium, ruang - ruang kelas baru, perpustakaaan, dan melakukan reformasi perbukuan. Selain itu, pemerintah, kata Mendiknas, akan melakukan pendekatan mutu relevansi dan daya saing pendidikan dengan pendekatan komprehensif, serta penguatan tata kelola dan perluasan pendidikan nonformal untuk mengemban layanan pada peserta didik yang tidak terjangkau pendidikan formal.

Sementara, terkait program BOS, Mendiknas menyampaikan pada 2009 program BOS tunai dan BOS buku akan dijadikan satu. Unit cost-nya juga akan dinaikkan sebanyak 50 persen. Mendiknas menyebutkan, unit cost BOS tingkat sekolah dasar (SD) untuk wilayah kabupaten sebanyak Rp.397.000,00, sedangkan untuk kota sebanyak Rp.400.000,00 per orang per tahun. Kemudian, kata Mendiknas, untuk tingkat sekolah menengah pertama (SMP), setelah dinaikkan sebanyak 50 persen dan digabung adalah sebanyak Rp.570.000,00 untuk kabupaten dan Rp.575.000,00 untuk kota per orang per tahun.

Di samping itu, lanjut Mendiknas, program bantuan operasional menejemen mutu (BOMM) untuk tingkat sekolah menengah yang dulu dihitung per sekolah sekarang di hitung per orang seperti BOS. Untuk sekolah menengah atas (SMA) sebanyak Rp.90.000,00 per orang per tahun, sedangkan untuk sekolah menengah kejuruan (SMK) sebanyak Rp.120.000,00 per orang per tahun. "Anggarannya masih disamakan antara kabupaten dan kota," ujarnya.

Sumber: Pers Depdiknas

Usaha Sinergiskan Pendidikan Iptek dengan Keagamaan

Ketua Umum Pengurus Pusat IPQAH, Prof DR H Said Aqil Al Munawar MA yang juga menjabat sebagai Menteri Agama RI akan melantik Pimpinan Wilayah Ikatan Persaudaraan Qori Qori'ah dan Hafiz Hafizah (IPQAH) Kalbar, Sabtu (2/10) di Pontianak Convention Center.

Kegiatan ini merupakan rangkaian dari Acara Penutupan Pertemuan Nasional Pembantu Rektor dan Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan UIN, IAIN dan STAIN se-Indonesia. Pengurus IPQAH yang akan dilantik antara lain, Ketua Umum Drs H Sabhan A Rasyid, Ketua I H Hadari, Ketua II Drs Makmur dan Ketua III Dra Nurul Huda MA. Sedangkan sebagai Sekretaris Umum yaitu Drs M Arifin Thahir.

Menurut H Sabhan, kedatangan Ketua Umum Pusat akan disertai oleh dua staf Ketua yaitu Drs H Nasrullah dan Drs H Achmad Muhajir. "Selain melantik, beliau juga akan melakukan demo baca Al-quran," katanya didampingi beberapa pengurus.

IPQAH, lanjutnya, merupakan wadah berhimpun bagi para qori qori'ah dan hafidz-hafidzah agar dapat meningkatkan kiprahnya di masyarakat. IPQAH juga bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat para qari-qari'ah dan hafidz hafidzah serta untuk memasyarakatkan Al-Quran dalam rangka mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya.

Selama ini, kata dia, masih ada sebagian masyarakat yang belum memberikan perhatian yang sewajarnya terhadap pendidikan agama, khususnya Al-Quran. Hal ini ditunjukkan dengan relatif kurangnya penghargaan terhadap guru-guru ngaji dibanding pembimbing-pembimbing bidang lainnya. Selain itu, sebagian masyarakat cenderung lebih mengutamakan pendidikan iptek yang menjurus pada kehidupan duniawi dibanding pendidikan agama bagi anak-anaknya.

Salah satu faktor yang menjadi penyebabnya, kata dia, adalah pengaruh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat. Padahal, pendidikan agama khususnya Al-Quran adalah soko guru dalam membina akhlak generasi muda. "Coba saja kita tanyakan pada generasi muda, ada yang bilang ingin jadi dokter, pilot, insinyur dan nyaris tidak ada yang ingin jadi ulama. Ini baik, tapi akan lebih baik jika pendidikan iptek dapat berjalan secara sinergis dengan bidang agama," tukasnya, "kita akan bangga jika ada dokter yang ulama atau insinyur yang ulama".

Untuk merealisasikan ini, IPQAH nantinya akan menjalin kemitraan dengan pihak-pihak terkait untuk menghidupkan kembali majelis-majelis taklim, pengajian-pengajian dan dakwah serta melakukan pembinaan ke masyarakat tentang pentingnya pendidikan Al-quran. Selain itu, juga akan digelar forum-forum diskusi agar para qari-qari'ah dan hafidz-hafidzah dapat saling tukar pengalaman dan pengetahuan. Hal ini positif demi mengembangkan potensinya dan menularkan ilmunya kepada generasi muda. Ketua Umum Pengurus Pusat IPQAH, Prof DR H Said Aqil Al Munawar MA yang juga menjabat sebagai Menteri Agama RI akan melantik Pimpinan Wilayah Ikatan Persaudaraan Qori Qori'ah dan Hafiz Hafizah (IPQAH) Kalbar, Sabtu (2/10) di Pontianak Convention Center.

Kegiatan ini merupakan rangkaian dari Acara Penutupan Pertemuan Nasional Pembantu Rektor dan Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan UIN, IAIN dan STAIN se-Indonesia. Pengurus IPQAH yang akan dilantik antara lain, Ketua Umum Drs H Sabhan A Rasyid, Ketua I H Hadari, Ketua II Drs Makmur dan Ketua III Dra Nurul Huda MA. Sedangkan sebagai Sekretaris Umum yaitu Drs M Arifin Thahir.

Menurut H Sabhan, kedatangan Ketua Umum Pusat akan disertai oleh dua staf Ketua yaitu Drs H Nasrullah dan Drs H Achmad Muhajir. "Selain melantik, beliau juga akan melakukan demo baca Al-quran," katanya didampingi beberapa pengurus.

IPQAH, lanjutnya, merupakan wadah berhimpun bagi para qori qori'ah dan hafidz-hafidzah agar dapat meningkatkan kiprahnya di masyarakat. IPQAH juga bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat para qari-qari'ah dan hafidz hafidzah serta untuk memasyarakatkan Al-Quran dalam rangka mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya.

Selama ini, kata dia, masih ada sebagian masyarakat yang belum memberikan perhatian yang sewajarnya terhadap pendidikan agama, khususnya Al-Quran. Hal ini ditunjukkan dengan relatif kurangnya penghargaan terhadap guru-guru ngaji dibanding pembimbing-pembimbing bidang lainnya. Selain itu, sebagian masyarakat cenderung lebih mengutamakan pendidikan iptek yang menjurus pada kehidupan duniawi dibanding pendidikan agama bagi anak-anaknya.

Salah satu faktor yang menjadi penyebabnya, kata dia, adalah pengaruh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat. Padahal, pendidikan agama khususnya Al-Quran adalah soko guru dalam membina akhlak generasi muda. "Coba saja kita tanyakan pada generasi muda, ada yang bilang ingin jadi dokter, pilot, insinyur dan nyaris tidak ada yang ingin jadi ulama. Ini baik, tapi akan lebih baik jika pendidikan iptek dapat berjalan secara sinergis dengan bidang agama," tukasnya, "kita akan bangga jika ada dokter yang ulama atau insinyur yang ulama".

Untuk merealisasikan ini, IPQAH nantinya akan menjalin kemitraan dengan pihak-pihak terkait untuk menghidupkan kembali majelis-majelis taklim, pengajian-pengajian dan dakwah serta melakukan pembinaan ke masyarakat tentang pentingnya pendidikan Al-quran. Selain itu, juga akan digelar forum-forum diskusi agar para qari-qari'ah dan hafidz-hafidzah dapat saling tukar pengalaman dan pengetahuan. Hal ini positif demi mengembangkan potensinya dan menularkan ilmunya kepada generasi muda.

Sumber : Pontianak Post

Politik Pendidikan Penebus Dosa

Nasib pendidikan keagamaan sudah lama menyimpan memori panjang diskriminasi anggaran. Negara lebih memanjakan pembiayaan sekolah umum dan mengabaikan sekolah agama. Belanja negara dialokasikan secara tidak berimbang antara lembaga pendidikan negeri dan swasta. Sialnya, sebagian besar lembaga pendidikan keagamaan berstatus swasta.

Lengkap sudah nestapa pendidikan berbasis agama yang berlangsung sejak dahulu kala. "Sekarang negara harus menebus dosa dengan menunjukkan pemihakan pada pemberdayaan pendidikan keagamaan," kata Menteri Agama, Maftuh Basyuni. Sebab para pendidik dan anak didik di lingkungan pendidikan keagamaan juga warga negara yang sama dengan anak didik dan pendidik pada umumnya. "Mereka sama-sama mendedikasikan diri untuk pendidikan anak bangsa," Maftuh menambahkan.

Awal tahun anggaran ini menjadi momentum penting untuk menguji apakah politik anggaran negara sudah menunjukkan aksi nyata "penebusan dosa". Perangkat regulasi sebenarnya sudah kian lengkap. Pada penghujung 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

Beleid itu mengukuhkan kebijakan pendidikan dalam Undang-Undang 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahwa pendidikan keagamaan adalah bagian integral sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini menjadi tonggak penting politik pendidikan yang menghapus diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta serta antara sekolah umum dan sekolah keagamaan. Alokasi anggaran pun, menurut Pasal 12 PP 55/2007, harus adil antara sekolah negeri dan swasta.

Pendidikan keagamaan merupakan wujud orisinal pendidikan berbasis masyarakat di Nusantara. Mereka tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat. Di lingkungan Islam terdapat pesantren, madrasah, dan diniyah. Di Katolik ada seminari.

Di Hindu ada pasraman dan pesantian. Buddha mengenal pabbajja. Konghucu menyebut shuyuan, dan sebagainya. Tumbuhnya pendidikan keagamaan dalam masyarakat sebagian justru akibat kebijakan negara yang buruk dalam mengelola pendidikan agama.

Pendidikan agama kerap berjasa menampung anak didik yang kurang mampu, sehingga tidak terwadahi di sekolah umum dan negeri. Banyak di antara lulusannya yang kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah nasional. Jumlah mereka tidak bisa dipandang sebelah mata.

Di lingkungan pendidikan Islam saja, menurut data Departemen Agama (Depag) tahun 2006, ada 2,67 juta anak didik yang menempuh pendidikan di 14.700 pondok pesantren. Hampir sama dengan jumlah mahasiwa di 2.800 perguruan tinggi negeri dan swasta di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sebanyak 2,69 juta orang.

Yang bersekolah di 27.000 sekolah diniyah ada 3,4 juta orang. Setara dengan siswa pada 9.000-an SMA negeri dan swasta se-Indonesia, yang juga berjumlah 3,4 juta.

Peserta pendidikan dasar sembilan tahun di lingkungan madrasah dan diniyah mencapai 6,1 juta murid. Seperenam dari total peserta pendidikan dasar sembilan tahun ada di lingkungan Depdiknas, yang mencapai 36 juta murid.

Sebagian terbesar (lebih 80%) jenjang pendidikan agama di lingkungan Islam, mulai level taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi, adalah swasta. Bahkan, menurut data Depag tahun 2005, sekitar 17.000 raudhatul athfal (TK), 14.700-an pesantren, dan 27.600-an diniyah adalah swasta.

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), 90% SD hingga SMA adalah sekolah Katolik dan berstatus swasta. Dari seluruh pendidikan Katolik itu, 60% sehat, 30% sedang, dan 20% hampir sekarat. Sekolah Katolik yang sehat ada di Flores, sedangkan yang sulit berkembang terdapat di Sumba.

"Pada masa Orde Baru, di sini pun sekolah Katolik swasta jadi anak tiri," kata Ludo Taolin, Wakil Ketua DPRD Belu, NTT. "Padahal, sekolah Katolik banyak berperan mendidik kalangan menengah ke bawah," katanya. Baru setelah reformasi, menurut Ludo, insentif guru untuk sekolah negeri dan swasta sama. Pemerintah daerah mulai membantu dengan menempatkan guru negeri di sekolah Katolik swasta.

Wajah politik anggaran pemerintah pusat dalam bidang pendidikan berbasis agama dapat dilihat dari anggaran Depag. Tahun 2008 ini, ada peningkatan persentase alokasi untuk "fungsi pendidikan" ketimbang tahun 2007.

Pada 2007, dari total anggaran Depag Rp 14,5 trilyun, alokasi terbesarnya (49,5%) adalah untuk "fungsi pelayanan umum" (Rp 7,2 trilyun). Porsi anggaran pendidikan di Depag pada waktu itu hanya menduduki pos kedua, senilai Rp 6,6 trilyun (46%).

Tahun 2008 ini, di satu sisi, anggaran Depag meningkat 20,9%, menjadi Rp 17,6 trilyun. Di sisi lain, alokasi terbesar bergeser dari fungsi pelayanan umum ke fungsi pendidikan. Gelontoran dana pendidikan meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun lalu, menjadi Rp 14,3 trilyun (81,4%) --macam-macam alokasinya lebih rinci, lihat tabel.

Tidak hanya di tingkat pusat. Wajah lebih ramah pada pendidikan agama juga ditampilkan sejumlah pemerintah daerah. Namun kebijakan anggaran APBD provinsi dan kabupaten/kota sempat tersandung Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Moh. Ma'ruf, Nomor 903/2429/SJ tanggal 21 September 2005 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2005.

Surat itu oleh sebagian kepala daerah diartikan sebagai larangan alokasi APBD untuk pendidikan keagamaan, karena bidang agama tidak mengalami desentralisasi. Sehingga anggarannya diambilkan dari belanja pemerintah pusat di APBN, bukan dari APBD.

Hal itu, misalnya, dilakukan Kabupaten Aceh Barat. Dana kesejahteraan guru hanya diberikan kepada guru di lingkungan Depdiknas, tidak diberikan pada guru agama di madrasah yang berafiliasi ke Depag. Akibatnya, seluruh guru madrasah se-Aceh Barat sempat melakukan aksi mogok mengajar pada Agustus 2006.

Hingga 2005, sejumlah gedung madrasah di Kabuaten Tangerang, Banten, rusak berat dan tidak segera direhabilitasi. Menurut anggota DPRD Tangerang, Imron Rosadi, kepada koran lokal, itu terjadi karena APBD Kabupaten Tangerang tidak mengalokasikan bantuan. Baru pada 2007 anggaran perbaikan dan pembangunan gedung disediakan APBD.

Efek surat edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) itu menyulut tuntutan berbagai kalangan agar surat tersebut dicabut. Wakil Ketua DPR pada saat itu, Zaenal Ma'arif, sejumlah anggota DPR, dan Menteri Agama Maftuh Basyuni minta surat edaran itu direvisi karena bisa menghadirkan kembali politik anggaran yang diskriminatif.

Banyak kepala daerah dikabarkan gelisah. Di satu sisi, tak mau salah dalam mengalokasikan anggaran. Di sisi lain, tak ingin berkonfrontasi dengan para elite agama. Pada musim pemilihan kepala daerah secara langsung sekarang ini, hal itu bisa berdampak buruk pada popularitas para tokoh politik lokal. Berbagai proses politik, lobi, dan manuver di balik layar pun ditempuh untuk menyetop berlakunya surat Mendagri itu.

Tapi masih ada beberapa pimpinan daerah yang tidak memedulikan "larangan" surat edaran Mendagri itu. Misalnya dilakukan Bupati Pekalongan, Gresik, dan Banyuwangi di Jawa Timur. Di Banyuwangi, surat Mendagri itu hanya sempat jadi pembicaraan singkat, tapi tidak mempengaruhi alokasi anggaran.

Menurut Arifin Salam, anggota DPRD dan Ketua Lembaga Pendidikan Maarif Banyuwangi, APBD setempat tetap mengalokasikan bantuan pada seluruh siswa pendidikan swasta Rp 20.000 per bulan secara adil. "Sekolah umum dan madrasah punya hak yang sama," katanya.

Sekolah negeri tidak memperoleh bantuan karena sudah mendapat anggaran operasional dari negara. Tahun 2008, anggaran pendidikan di APBD Banyuwangi mencapai 23%. Bujet buat pendidikan keagamaan semacam pesantren dan semua lembaga pendidikan agama di luar Islam meningkat pesat.

Bila tahun 2005 hanya Rp 3 milyar, tahun 2008 ini mencapai Rp 18 milyar. Sampai-sampai, anggaran dinas lain, seperti peternakan, dikurangi. "Komitmen kami pada pendidikan agama sangat kuat," ujar Arifin.

Di Langkat, Sumatera Utara, bantuan APBD juga tetap lancar, tak terganggu oleh polemik surat edaran Mendagri. Ustad Muhammad Nuh, pimpinan Pesantren Al-Uswah, Langkat, pada 2007 masih mendapat bantuan dari APBD Sumatera Utara dan APBD Langkat. Namun sifatnya bantuan insidental, tidak tetap. Setahu Nuh, pesantren lain juga masih mendapat bantuan APBD.

Bagi Hidayatullah, anggota Komisi C DPRD Sumatera Utara, kalaupun surat Mendagri itu betul-betul melarang karena kendala ketentuan desentralisasi, semestinya pemerintah daerah tidak kehabisan akal untuk membantu pendidikan keagamaan. Yang penting, ada kemauan politik. Sebab bantuan untuk pendidikan keagamaan masih bisa disalurkan lewat pos bantuan sosial. Hanya, kelemahannya, bantuan tersebut tak bisa rutin dikucurkan.

Sebagian daerah lain meresponsnya dengan membentuk peraturan daerah (perda) tentang madrasah diniyah. Misalnya Banjar, Indramayu, Cirebon, Pandeglang, dan diperjuangkan beberapa daerah lain, seperti Tangerang dan Majalengka. Dengan perda diniyah itu, APBD berkewajiban mengalokasikan anggaran tetap. Apa pun bunyi surat Mendagri tidak berpengaruh.

Lima bulan setelah surat edaran Mendagri beredar, pada Februari 2006 Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah Depdagri, Daeng M. Nazier, membuat surat klarifikasi bertajuk "Dukungan Dana APBD". Surat yang ditujukan ke gubernur, bupati, wali kota, serta ketua DPRD provinsi dan kabupaten itu menegaskan, "... sekolah yang dikelola oleh masyarakat, termasuk yang berbasis keagamaan seperti madrasah,... dapat didanai melalui APBD sepanjang pendanaan yang bersumber dari APBN belum memadai."

Daeng M. Nazier juga membuat klarifikasi lewat keterangan pers. "Akhir-akhir ini berkembang penafsiran yang salah terhadap isi surat edaran Menteri Dalam Negeri," katanya. "Seolah-olah Menteri Dalam Negeri melarang/tidak memperbolehkan dana APBD digunakan untuk mendanai program/kegiatan sekolah-sekolah berbasis keagamaan."

Nazier menyinggung adanya daerah yang menyetop pendanaan dari APBD untuk kegiatan madrasah ibtidaiyah, tsanawiah, dan aliyah, dengan alasan urusan agama tidak diserahkan kepada Daerah. Padahal, konteksnya berbeda. "Yang tidak menjadi urusan daerah adalah urusan keagamaan, sedangkan urusan pendidikan sudah menjadi urusan wajib pemerintahan daerah."

Ditegaskan pula, "Seharusnya pemerintah daerah tetap memberikan alokasi dana APBD yang seimbang kepada sekolah-sekolah negeri dan sekolah-sekolah yang berbasis keagamaan." Sehingga tidak menimbulkan keresahan dan menjaga keberlangsungan proses belajar-mengajar di tiap-tiap daerah.

Surat itu segera diimplementasikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk meredam aksi mogok para guru madrasah. Namun disinyalir banyak daerah lain tidak mau merujuknya, karena surat itu hanya ditandatangani direktur jenderal. Perlu ada ralat langsung dari Mendagri. Tarik-menarik di balik layar pun masih berlangsung kencang.

Maka, pada Juni 2007, Mendagri ad interim Widodo AS (karena Moh. Ma'ruf sakit) membuat Peraturan Mendagri Nomor 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2008. Peraturan ini menekankan dilarangnya diskriminasi dalam alokasi anggaran: "Dalam mengalokasikan belanja daerah, harus mempertimbangkan keadilan dan pemerataan agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi pemberian pelayanan."

Empat bulan kemudian, Oktober 2007, lahir PP 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan tadi. "Dasar hukum dukungan APBD pada pendidikan keagamaan, seperti pesantren dan diniyah, sebenarnya sudah sangat kuat," kata Amin Haedari, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag.

Namun Amin mengaku masih saja ada daerah yang bertanya, minta kepastian, tentang boleh tidaknya APBD membiayai sekolah agama. "Baru-baru ini, ada DPRD dari Bangka Belitung yang juga bertanya," kata birokrat yang banyak membuat terobosan pemberdayaan pesantren itu. Pasca-keluarnya PP itu, semestinya politik anggaran untuk pendidikan keagamaan lebih mulus berjalan.

Tapi mantan Wakil Ketua Komisi Pendidikan DPR, Masduki Baidlowi, menilai diskriminasi anggaran daerah sampai saat ini masih berlangsung. Diskriminasi itu bukan hanya dalam bentuk tidak dialokasikannya anggaran sama sekali. Ada yang memberi alokasi tapi dengan jumlah yang tidak sebanding dengan pendidikan umum. "Itu juga diskriminasi," katanya.

Masduki menyebut kasus tunjangan guru di DKI Jakarta. Guru di lingkungan Depdiknas mendapat tunjangan Rp 2,5 juta sebulan. Tapi guru madrasah hanya memperoleh Rp 500.000. "Semestinya justru dilakukan kebijakan afirmatif. Perbandingannya, tiga buat madrasah, dua buat sekolah umum," katanya. "Karena dari awal posisi sarana-prasarana madrasah sudah tertinggal jauh."

Seretnya alokasi anggaran buat pendidikan keagamaan di tingkat dearah mendorong perencana anggaran tingkat pusat lebih meningkatkan pasokan anggaran. Gelontoran anggaran yang paling besar sejak akhir 2007 adalah diberikannya tunjangan untuk 501.000 guru non-PNS yang mengajar di semua jenjang sekolah agama Islam. Mulai tingkat RA sampai aliyah. Tiap bulan, per orang memperoleh Rp 200.000. Total dalam setahun Rp 1,2 trilyun.

"Ini sudah menjadi tunjangan tetap tiap tahun," ujar Achmad Djunaidi, Kepala Biro Perencanaan Depag. "Karena banyak guru swasta di madrasah yang sudah mengajar belasan tahun tapi dengan imbalan di bawah Rp 100.000 sebulan." Tidak mudah, katanya, mengupayakan golnya alokasi tunjangan ini.

Namun, seberat-beratnya memperjuangkan anggaran, menurut Djunaidi, ada hal lanjutan yang jauh lebih penting dan berat. "Yaitu memastikan bantuan pendidikan itu tepat sasaran," katanya. "Semua orang tahu, birokrasi kita masih korup." Alokasi dana buat murid dan guru harus betul sampai di tangan mereka. "Jangan sampai mengendap di kantong ketua yayasan atau kepala sekolah," ujarnya.

Sumber : Gatra.com

Kamis, 12 Maret 2009

Depdiknas Bakukan Pendidikan Dini

Pemerintah mengakui bertahun-tahun telah mengabaikan pentingnya pendidikan anak usia dini (PAUD), terutama sektor nonformal. Padahal, PAUD merupakan pilar utama yang menentukan masa depan bangsa. Karena itu, dalam waktu dekat Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) segera membakukan pendidikan PAUD menjadi program formal dalam sistem pendidikan Indonesia.

’’Ini upaya menebus kesalahan masa lalu, di mana selama puluhan tahun kita mengabaikan PAUD,’’ terang Mendiknas Bambang Sudibyo saat membuka Seminar dan Lokakarya Nasional PAUD di Institut Pertanian Bogor (IPB) International Convention Center kemarin.

Menurut Bambang, kecerdasan secara komprehensif meliputi kecerdasan otak kiri atau kecerdasan intelektual dan kecerdasan otak kanan atau kecerdasan spiritual, emosional, sosial, estetika, dan kinestika. ’’Karena 80 persen potensi kecerdasan komprehensif anak dapat dipacu agar berkembang secara pesat dan optimal pada masa usia dini, sisanya 20 persen dikembangkan setelah usia 8–20 tahun,’’ ujarnya.

Meski PAUD menjadi level penting dalam proses pendidikan, Bambang menolak adanya pembelajaran yang memaksa anak-anak usia dini menerima pelajaran membaca, menulis, dan berhitung. Bagi dia, hal terpenting dalam PAUD adalah pemberian stimulan (rangsangan) kepada anak. Anak yang besar dan berkembang dalam lingkungan yang kaya stimulan, kecerdasan otaknya berkembang lebih sempurna.

Dirjen Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) Depdiknas Hamid Muhammad mengatakan, untuk mewujudkan sistem PAUD yang baik, pemerintah bersama Bappenas dan sektor terkait mulai 2009 mengembangkan sistem PAUD yang holistik dan integratif. ’’Dalam sistem ini, semua jenis stimulan yang diperlukan untuk menumbuhkembangkan kecerdasan anak akan dipadukan dalam satu sistem layanan yang utuh,’’ tuturnya.

Di samping itu, untuk meningkatkan upaya pemerataan akses dan perluasan kesempatan mengikuti PAUD, Depdiknas memberi perhatian lebih besar kepada peserta didik PAUD dari keluarga kurang mampu. ’’Caranya, dengan memprioritaskan pendirian lembaga-lembaga PAUD di tingkat kecamatan, pedesaan, dan daerah terpencil,’’ terang Hamid.

Data terbaru Depdiknas menyebutkan, dari 28,6 juta anak usia dini, hingga sekarang baru 50,9 persen yang terlayani PAUD, baik formal maupun nonformal. Targetnya, pada akhir 2009 angka partisipasi kasar (APK) PAUD mencapai 53,9 persen.

Sumber:jpnn.com
Edisi: Kamis, 27 November 2008

Gencarkan Pendidikan Anak Usia Dini

Sambas,- Pendidikan Anak Usia Dini atau biasa disingkat PAUD, menurut Ny Naskah Burhanuddin, merupakan salah satu program yang harus digencarkan di Kabupaten Sambas. “PAUD penting dalam menyukseskan Terpikat Terigas yang merupakan visi dan misi daerah ini,” ujar Ketua Dewan Penasehat Muslimat NU Kabupaten Sambas, kemarin, saat meresmikan PAUD Az-Zahra Muslimat NU Kabupaten Sambas, di Pendopo Rumah Dinas Bupati.

Naskah mengatakan bahwa PAUD penting karena disini yang diajari adalah anak-anak sebelum memasuki sekolah. Berbagai pengetahuan disampaikan oleh tutor kepada anak usia dini tersebut, terutamai permainan yang melatih emosi dan kecerdasan. Sehingga demikian mereka memiliki bekal yang mantap ketika berada di sekolah dasar.

Hadir pada peresmian PAUD di Pendopo Bupati kemarin yaitu Pengusus PC Muslimat NU Kabupaten Sambas, Kabid Dikluspora Diknas Kabupaten Sambas, tenaga pengajar dan calon pesert PAUD ditemani oleh orang tuanya. Rencananya untuk kelas pertama ini, di PAUD Az-Zahra yang beralamat di Jalan Sultan M Tsyafioedin Sambas tersebut akan dididik sebanyak 25 siswa.

Ketua PC Muslimat NU Kabupaten Sambas Raden Dewi Kencana, mengatakan menyambut baik pendirian PAUD Az-Zahra. Menurutnya hadirnya pendidikan anak usia dini tersebut merupakan program Dinas Pendidikan Kalbar melalui Pengurus Wilayah Muslimat NU Kalbar. “Mudah-mudahan PAUD ini ikut berperan dalam membangun SDM di Kabupaten Sambas,” tegasnya.

Mengingat program PC Muslimat NU seiring dengan visi dan misi Kabupaten Sambas, ujar Dewi Kencana, mereka tentunya akan terus menjalin kemitraan dengan Pemkab di daerah ini. “Harapan Kami nantinya kegiatan PAUD ini dapat berkelanjutan,” imbuhnya.

Arsyad, Kabid Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga Dinas Pendidikan Kabupaten Sambas, menegaskan mereka selalu siap untuk mendukung program pembangunan SDM yang memang merupakan tupoksi dari instansinya. “Pembinaan dan pemantauan tetap akan dilakukan terhadap lembaga pendidikan seperti ini,” ujarnya.

Kabid Dikluspora berpesan agar pengelolaan PAUD dilakukan seprofesional mungkin. Sehingga aktivitasnya dapat terus berkelanjutan dalam menciptakan SDM berkualitas sebagaimana menjadi salah agenda Kabupaten Sambas. “Semua harus berpartisipsi tentunya disini,” ungkapnya.(mur)

< Pendidikan Anak Usia Dini atau biasa disingkat PAUD, menurut Ny Naskah Burhanuddin, merupakan salah satu program yang harus digencarkan di Kabupaten Sambas. “PAUD penting dalam menyukseskan Terpikat Terigas yang merupakan visi dan misi daerah ini,” ujar Ketua Dewan Penasehat Muslimat NU Kabupaten Sambas, kemarin, saat meresmikan PAUD Az-Zahra Muslimat NU Kabupaten Sambas, di Pendopo Rumah Dinas Bupati.

Naskah mengatakan bahwa PAUD penting karena disini yang diajari adalah anak-anak sebelum memasuki sekolah. Berbagai pengetahuan disampaikan oleh tutor kepada anak usia dini tersebut, terutamai permainan yang melatih emosi dan kecerdasan. Sehingga demikian mereka memiliki bekal yang mantap ketika berada di sekolah dasar.

Hadir pada peresmian PAUD di Pendopo Bupati kemarin yaitu Pengusus PC Muslimat NU Kabupaten Sambas, Kabid Dikluspora Diknas Kabupaten Sambas, tenaga pengajar dan calon pesert PAUD ditemani oleh orang tuanya. Rencananya untuk kelas pertama ini, di PAUD Az-Zahra yang beralamat di Jalan Sultan M Tsyafioedin Sambas tersebut akan dididik sebanyak 25 siswa.

Ketua PC Muslimat NU Kabupaten Sambas Raden Dewi Kencana, mengatakan menyambut baik pendirian PAUD Az-Zahra. Menurutnya hadirnya pendidikan anak usia dini tersebut merupakan program Dinas Pendidikan Kalbar melalui Pengurus Wilayah Muslimat NU Kalbar. “Mudah-mudahan PAUD ini ikut berperan dalam membangun SDM di Kabupaten Sambas,” tegasnya.

Mengingat program PC Muslimat NU seiring dengan visi dan misi Kabupaten Sambas, ujar Dewi Kencana, mereka tentunya akan terus menjalin kemitraan dengan Pemkab di daerah ini. “Harapan Kami nantinya kegiatan PAUD ini dapat berkelanjutan,” imbuhnya.

Arsyad, Kabid Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga Dinas Pendidikan Kabupaten Sambas, menegaskan mereka selalu siap untuk mendukung program pembangunan SDM yang memang merupakan tupoksi dari instansinya. “Pembinaan dan pemantauan tetap akan dilakukan terhadap lembaga pendidikan seperti ini,” ujarnya.

Kabid Dikluspora berpesan agar pengelolaan PAUD dilakukan seprofesional mungkin. Sehingga aktivitasnya dapat terus berkelanjutan dalam menciptakan SDM berkualitas sebagaimana menjadi salah agenda Kabupaten Sambas. “Semua harus berpartisipsi tentunya disini,” ungkapnya.

Sumber : Pontianak Post

Pendekatan pembinaan watak usia dini

Pada usia dini, sangatlah penting, anak-anak mendapatkan pendidikan watak yang tepat guna untuk hidupnya, baik dimasa kanak-kanak maupun setelah dewasa. Orang tua dan pendidik hendaknya tidak bosan untuk selalu memberikan nasihat, teladan, ruang pilihan , kesempatan untuk mengambil keputusan, keleluasaan bagi anak-anak untuk meneladan, mengikuti dan menilai baik dan buruk, benar dan salah suatu sikap atau perbuatan.

Pembinaan watak tidak sekedar pembelajaran mengetahui tentang yang baik dan buruk, tentang sikap benar dan salah, tetapi merupakan proses pelatihan pembiasaan terus menerus tentang sikap benar dan baik, sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan. Karena pada usia dini, anak merupakan "peniru ulung" dan sekaligus "pembelajar ulet", maka pembiasaan dan pembinaan watak perlu dumlai sejak usia dini. Ada berbagai macam cara atau pendekatan pembinaan watak pada usia dini, berikut ini saya sampaikan beberapat hal yang pokok.

Menentukan Tujuan Pembinaan
Orang tua dan pendidik hendaknya telah memiliki seperangkat etika/kebiasaan baik dan benar yang ingin dimiliki oleh anak-anak, sebelum mengadakan pendidikan dan pembinaan watak kepada mereka. Watak kepribadian ayng seperti apa yang ingin dilatihkan dan dikembangkan? Bagaimana mereka berteman atau sikap social macam apa yang hendak kita bangun diantara mereka? Pengalaman dan kegiatan apa yang hendak kita berikan untuk melatih mereka agar mereka memiliki etika dan moral yang baik, sesuai dengan usianya? Selain hal-hal teknis ini, yang paling penting sebenarnya adalah nilai dan sikap moral serta etika dari orang tua dan pendidik sendiri. Nilai moral dan etika apa yang kita miliki yang hendak kita transferkan kepada anak-anak. Ingatlah bahwa seorang pendidik (dan juga orang tua) tidak hanya bertugas untuk mentransferkan ilmu pengetahuan, tetapi juga mentransferkan nilai-nilai baik kepada anak-anak.

Potret model pendampingan dari orang tua / pendidik dan nilai-nilai mereka akan menentukan tujuan pendampingan dan pengembangan watak anak-anak dan melaksanakan nilai-nilai an gdiyakini baik dan benar yang diperoleh dari orang tua dan pendidiknya terdahulu, yang kemudian menjadi nilai-nilai yang dihargai dan diyakini karena bermakna dalam hidup.

Cara yang baik untuk menolong anak-anak agar anak-anak dapat memiliki watak yang baik sesuai dengan harapan kita, antara lain adalah: Pertama, sadarilah bahwa nilai-nilai merupakan dasar dari semua tingkah laku yang etis. Kedua, temukan nilai-nilai yang sangat penting bagi kita dan ciptakan suatu pengalaman bagi anak untuk dapat menilai bahwa nilai-nilai itu baik dan bermakna dengan memberikan penguatan dan peneguhan jika mereka melakukannya. Ketiga, selalu berikan ganjaran dan dukungan secara positif kepada anak-anak jika anak-anak melakukan sesuatu berdasar nilai-nilai yang kita ajarkan. Keempat, berikan kepada anak-anak waktu, perhatian dan tuntunan yang dapat dilihat untukmelaksanakan nilai-nilai yang kita ajarkan. Kelima, ciptakan suatu kesempatan agar anak-anak dapat melakukan pilihan atau keputusan yang bermakna bagi diri mereka sendiri. Dan keenam, hayatilah hidup kita sebagai rang dewasa seperti yang kita harapkan akan dihayati oleh anak-anak kita.

Jadilah Teladan Moral bagi Anak-anak
Ada pepatah mengatakan bahwa "Anak-anak tidak pernah menjadi pendengar yan gbaik bagi orang tuanya, tetapi mereka dapat menjadi peniru ulung bagi orang tuanya". Anak-anak pada usia dini belajar melalui melihat apa yang ada dan terjadi di sekitarnya, bukan lewat mendengarkan nasihat atau kotbah kita. Nilai yang kita ajarkan kepada merela melalui kata-kata, hanya sedikit yang mereka lakukan, sedangkan nilai yan gkita ajarkan melalui perbuatan, akan banyak mereka lakukan. Apa yang kita kerjakan, apa yang kita lakukan, perilaku kita merupakan pendidikan watak yang terjadi setiap hari, dari pagi sampai malam.

Menjadi model pelaksana moral bagi anak-anak bukan suatu pilihan bebas, tetapi merupakan suatu keharusan yang tak terelakkan sebagai orang tua / pendidik. Ini adalah kenyataan hidup. Kita menjadi teladan mereka setiap hari, oleh karena itu kita hendaknya berhati-hati dalam berkata-kata, bersikap dan bertingkah laku di hadapan anak-anak. Kita belajar mengenai moral dan etika melalui keteladanan orang tua, pendidik, tokoh masyarakt dan juga orang-oran gdewasa di sekitar kita. Ini tidak berarti bahwa pengajaran moral dan etika melalui kata-kata tidak penting. Tetapi yang paling banyak mempengaruhi perilaku moral dan etis anak-anak adalah keteladanan disbanding dengan petuah dan nasihat. Kita dapat membandingkan dengan "Piramida Pengaruh". Pada piramida pengaruh ini dinyatakan bahwa nadihat dan kata-kata hanya memiliki pengaruh kecil pada seseorang. Sedangkan relasi dan komunikasi memiliki pengaruh yang lumayan, pengaruh terbesar terjadi jikalau diberikan melalui keteladanan, contoh dan dibarengi adanya relasi dan komunikasi yang baik serta kata-kata yang selalu diingat berulang-ulang.

Harapan yang Realistik
Seringkali karena ketidaktahuan orang tua / pendidik akan tahap-tahap perkembangan moral anak-anak, mereka mencanangkan harapan yang tidak realistic, tidak sesuai dengan kemampuan dan tahap perkembangannya. Menurut Lawrence Kohlberg disebutkan bahwa tahap prakonvensional terjadi pada anak-anak TK sampai kelas tiga Sekolah Dasar. Pada tahap ini kesadaran moral yang muncul adalah orientasi hukuman dan ketaatan, akibat fisik yang dialami belum sampai pada arti dan nilai manusiawinya dan orientasi hedonis (mencari kenikmatan dan menghindari penderitaan) untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri. Pada masa ini penanaman nilai budi pekerti harus dimulai dengan latihan yang kongkrit, sederhana, mudah dilakukan dan tidak menimbulkan perasaan takut, malu, khawatir dan perasaan bersalah.

Pada tahap ini, anak-anak menuruti atau mentaati peraturan hanya karena ingin lepas dari "persoalan" dengan orang tua, sebagai pihak yang kuat dan penuh kuasa serta tahu segalanya, sedangkan anak-anak sebagai pihak yang tak berdaya dan lemah serta tidak tahu apa-apa. Motivasi mereka melakukan yang baik hanya supaya tidak terkena hukuman, supaya tidak ada persoalan dalam relasinya dengan orang tuanya. Anak-anak usia empat sampai lima tahun tidak dapat dituntut untuk melakukan sesuatu yang diluar motivasi ini. Mereka tidak tahu alasannya apa dibuat suatu peraturan tertentu, mereka tidak tahu bahwa dalam masyarakat diperlukan seperangkat aturan untuk menjaga ketentraman dan keamanan. Mereka hanya tahu bahwa aturan dipaksakan kepada mereka oleh suatu kekuatan yang besar dari orang tua atau oleh kakaknya agar mereka tetap menjadi orang berkuasa dan kuat serta dapat mengaturnya. Anak-anak pada usia ini tidak dapat membatinkan mengenai nilai-nilai sebagai prinsip yang mendasar. Nilai budi pekerti diterima dalam suatu mekanisme "hanya ada satu jalan". Anak-anak dikontrol dan dikendalikan oleh orang tua, adik diawasi oleh kakak, siswa dikuasai oleh guru, yang lemah dikuasai oleh yang kuat. Dalam hal ini tidak ada "memberi dan menerima".

Tunjukkan Cinta yang Tanpa Syarat
Anak-anak usia dini akan dapat mengembangkan kemampuannya dalam pergaulan social secara sehat, jikalau memperoleh pengalaman bahwa diri mereka berharga, berkemampuan, berpotensi dan pantas dicintai. Hanya oran gtua yang memiliki kemampuan tulus untuk mencintai anak-anaknya tanpa syarat. Memberikan cinta tanpa syarat kepada anak-anak merupakan anugerah yang tiada duanya bagi pertumbuhan anak-anak. Anak akan memiliki perasaan aman, nyaman dan harga diri yang baik, bukan karena bagaimana orang tua mencintainya tetapi bagaimana ia merasakan dan mengalami dicintai. Oleh karena itu penting sekali pada masa ini bahwa anak-anakmengalami dan merasakan kasih sayang orang tua dengan cinta tanpa syarat. Dengan setiap hari mengalami dan merasakan dicintai oleh oran gtua / pendidik, anak-anak akan semakin yakin bahwa dirinya dicintai dan memang pantas dicintai.

Setiap anak membutuhkan perhatian, sapaan, penghargaan secara positif dan cinta tanpa syarat untuk mengembangkan dirinya yang berharga. Berdasarkan modal ini mereka juga akan mampu memandang dan memperlakukan orang lain dengan cinta dan perhatian, memperlakukan orang lain secara etis. Anak akan memandang teman-temannya juga pantas dihargai, dicintai, dan diperhatikan seperti dirinya.

Menunjukkan cinta tanpa syarat tidak berarti bahwa orang tua tidak boleh menegur tindakan negatif anak. Orang tua tetap harus menegur dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran atau perbuatan negatif anak. Hanya, orang tua harus membedakan antara perbuatan yang dilakukan dengan pribadi anak itu sendiri. Bukan anak itu yang membuat kita marah, tetapi salah satu perbuatannya. Kita dengan sabar menunjukkan kesalahan sikap atau perbuatannya tetapi sekaligus kita tetap menyayanginya sebagai anak. Cinta tanpa syarat itu berpusat pada kepribadian anak, sedangkan pendisiplinan tiu terfokus pada perilaku dan sikap anak saja.

Bagaimana kita dapat menunjukkan bahwa cinta kita kepada anak-anak adalah cinta tanpa syarat? Pertama, tunjukkan cinta tanpa syarat kita dengan menciumnya, merangkulnya, membopongnya, mendekapnya, dan kata-kata yang positif. Kedua, dasarkan cinta kita pada siapakah dia bukan pada apa yang dia perbuat saja. Ketiga, tunjukkan rasa penerimaan dan pengalaman didukung secara positif setiap hari. Keempat, cari kesempatan yang tepat untuk menghargai perilaku positif mereka. Dan kelima, tegur perilaku negatif mereka, sekaligus tunjukkan bahwa cinta kita tidak berdasarkan pada perilaku mereka.

Sokonglah harga Diri Anak
Anak-anak yang hidup dalam suatu keluarga dengan harga diri yang cukup positif akan lebih mengalami dihargai, dicintai, diperhatikan dan memiliki rasa percaya diri yang kuat disbanding dengan anak-anak yang tinggal dalam suatu keluarga dengan harga diri yang cukup negatif. Keluarga dengan harga diri rendah biasanya gampang menghakimi, menghukum, menyalahkan anak-anak. Sedangkan anak-anak yang berada dalam keluarga dengan harga diri yang positif akan merasa diterima, dicintai dan diperhatikan. Keluarga ini biasanya bercirikan keluarga demokratis baik dalam suasana maupun dalam praktik sehari-hari.

Bagaimana caranya untuk mengembangkan harga diri yang positif pada anak-anak? Sadarilah bahwa harga diri merupakan faktor yang sangat penting untuk menciptakan agar hidup lebih membahagiakan, bernilai dan bermakna. Kedua, milikilah harapan yang jelas dan konsisten mengenai sikap yang kita harapkan dari anak-anak. Ketiga, hormati dan hargai setiap pendapat dan gagasan anak-anak. Keempat, bantulah anak-anak untuk menghargai keunikannya. Serta kelima, berilah kesempatan kepada anak-anak untuk mengembangkan dan menunjukkan kemampuan-kemampuannya.

Bagaimanapun juga anak-anak perlu mendapatkan pendidikan, pendampingan, pembelajaran sehingga mereka dapat mengembangkan kecerdasannya, perasaannya, keterampilannya dan juga wataknya. Dengan perkembangan yang utuh dan optimal akan menolong anak untuk dapat hidup bahagia dan sejahtera. Sekolah dan keluarga harus bahu membahu untuk pelaksanaan tugas ini.

Sumber : FIC.com

Arti Pentingnya Pendidikan bagi Anak Usia Dini

Tingkat kesadaran masyarakat terhadap pemberian layanan pendidikan bagi anak sejak usia dini (0-6 tahun) masih sangat rendah.
Tingkat kesadaran masyarakat terhadap pemberian layanan pendidikan bagi anak sejak usia dini (0-6 tahun) masih sangat rendah. Hal itu disebabkan antara lain karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya pendidikan anak usia dini itu sendiri.

"Meskipun selama ini pemerintah dan masyarakat telah menyelenggarakan berbagai program layanan pendidikan bagi anak usia dini. Namun, kenyataannya hingga saat ini masih banyak anak usia dini yang belum memperoleh layanan pendidikan," kata Gutama, Direktur Pendidikan Anak Usia Dini Departemen Pendidikan Nasional, pada sosialisasi pendidikan anak usia dini bagi tokoh agama se-Jabotabek di Jakarta, Selasa (6/1).
Gutama menyebutkan, dari sekitar 26 juta anak usia dini, baru sekitar 28 persen yang tersentuh layanan pendidikan. Sosialisasi pendidikan anak usia dini juga diakui belum menyentuh secara merata pada lapisan masyarakat terbawah di tingkat kecamatan dan kabupaten/kota.

Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Fasli Jalal menyebutkan sejumlah masalah mendasar lainnya berkaitan dengan pendidikan usia dini. Menurut Fasli, hingga saat ini belum ada sistem yang bersifat holistik untuk menjamin keterpaduan dalam penanganan anak usia dini.
Masih banyaknya anak usia dini yang tidak tersentuh pendidikan apa pun juga disebabkan masih sangat terbatasnya jumlah tenaga pendidik dan kependidikan untuk mereka. Hal itu diperburuk oleh relatif rendahnya kualitas tenaga yang sudah ada.
Fasli menambahkan bahwa faktor geografis dan kendala transportasi juga menjadi masalah mendasar. Sebab, anak- anak usia dini, yang seharusnya mendapat layanan pendidikan, berada di wilayah yang sangat terpencar. Bahkan, sebagian berada di daerah yang sulit dijangkau karena kendala transportasi.

"Ketersediaan prasarana dan sarana pendidikan bagi anak usia dini juga masih minim, terutama bagi mereka yang berusia di bawah empat tahun," ungkap Fasli.
Menurut Fasli, jumlah perguruan tinggi yang memiliki jurusan khusus pendidikan anak usia dini pun masih terbatas. Adapun penelitian di bidang pendidikan usia dini juga masih terbatas.

Gutama menjelaskan, pihaknya telah mengembangkan kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi berkaitan dengan pendidikan anak usia dini tersebut, di antaranya dengan Universitas Negeri Jakarta, Univeristas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Universitas Negeri Padang, Universitas Negeri Makassar, dan Universitas Andalas.

Sumber : Harian Kompas Rabu, 7 Januari 2004

Memperkenalkan Teknologi Sejak Usia Dini

Kemajuan teknologi hampir di segala bidang, membuat keluarga di Indonesia mulai mengenal berbagai peralatan elektronik, baik teknologi digital, multimedia hingga internet pun mulai merambah ke hampir setiap rumah di kota besar seperti Jakarta.

Mau tak mau, Anda pun harus mulai memperkenalkan teknologi ini kepada anak-anak sejak awal. "Wawasan teknologi perlu diperkenalkan kepada anak sejak dini, mengingat penggunaannya berkaitan erat dengan nila-nilai kehidupan sehari-hari," tukas Psikolog Tika Bisono.

Menurutnya, dengan sejak awal memperkenalkan teknologi pada anak, orangtua telah mempersiapkan mereka untuk mengerti dan memanfaatkan teknologi secara tepat guna. "Sehingga mereka memiliki dasat untuk menjadi sumber daya yang kreatif dan kompetitif di masa datang," tambahnya.

Dari sisi edukasi, teknologi akan menjadi cara belajar baru yang lebih menyenangkan bagi anak-anak. Terutama pada komputer, di mana tersedia permainan yang dilengkapi dengan gambar dan suara sehingga tidak membuatnya cepat bosan.

"Sisi baiknya, anak menjadi lebih tekun dan terpicu untuk lebih berkonsentrasi," lanjut penyanyi 'Ketika Senyummu Hadir' ini. Pada akhirnya anak-anak akan mengerti bahwa teknologi bukan sesuatu yang rumit, malah akan mendukung aktivitas dan kreativitas mereka.

Di sisi lain, Tika pun meminta orangtua untuk mewaspadai sisi negatifnya. Karena jika luput dari pantauan orangtua, anak-anak dapat menghabiskan waktunya duduk berjam-jam di depan komputer untuk bermain. Akibatnya ia tak mau bersosialisasi dengan temannya maupun keluarganya.

Mengenalkan teknologi, diakui Tika memang ada untung ruginya, namun semua itu tergantung dari kesiapan orangtua dalam mengenalkan dan mengawasi penggunaannya. "Untuk itu peranan para orangtua sangat penting dan dibutuhkan dalam memanfaatkan komputer tersebut," lanjutnya lagi.

Tika memberikan beberapa saran bagi orangtua yang telah dan akan mulai memperkenalkan komputer pada anak-anak:

1. Sesuaikan dengan perkembangan dan pemahaman anak.
Pada usia 0-2 tahun, si kecil berada pada taraf belajar penginderaan. Kemudian usia 2-7 tahun, ia mulai belajar menggunakan bahasa, angka dan simbol-simbol tertentu. Baru pada usia 7-12 tahun, si kecil mulai dapat berpikir logis, meski masih berhubungan dengan obyek yang tampak langsung olehnya.

2. Perhatikan efek yang ditimbulkan komputer.
Komputer memiliki efek-efek tertentu, berikan penjelasan secara bijak padanya, mengenai manfaat dan dampak buruknya. "Ada baiknya guru atau orangtua seharusnya tidak gaptek."

3. Si kecil jadi kecanduan.
Ini adalah pengaruh yang sulit dihilangkan. Kecanduan akan memicu si kecil jadi malas belajar menulis, menggambar atau bermain dengan teman-temannya. Karena itu pengaturan waktu sangat diperlukan, setidaknya hingga mereka berusia 12 tahun dan mulai mampu mengatur waktunya sendiri.

4. Tetap dampingi si kecil.
Bagaimanapun teknologi tidak dapat menggantikan peran orangtua dalam mendampingi anak, apalagi menjadikannya sebagai pengasuh. Karena itu tetap lakukan pengawasan, misalnya dengan meletakkan komputer di ruang terbuka, seperti di ruang keluarga - bukan di kamar anak.

5. Sediakan aplikasi khusus anak-anak.
Jangan lupa menggunakan aplikasi atau software yang dirancang khusus untuk anak, untuk melindunginya dari pengaruh-pengaruh negatif.

Sumber : www.halohalo.co.id

Rabu, 11 Maret 2009

Pendidikan Dini demi Masa Depan Anak

JAKARTA, JUMAT — Usia kanak-kanak (0-7) merupakan momen paling krusial bagi seorang anak. Memanfaatkan masa ini dengan memberikan pendidikan yang berkualitas dinilai penting karena memengaruhi kualitas anak 10 tahun mendatang.

Demikian disampaikan Konsultan Pendidikan Usia Dini, Clara Cristhie, seusai memberikan pelatihan kepada guru TK dan orang tua tentang pendidikan dini yang diadakan oleh Teacher Institute Sampoerna Foundation di Jakarta, Jumat (6/2).

Pendidikan dini memperkenalkan tentang pengendalian konflik di masa mendatang. Bisa dilihat bagaimana anak di taraf SMP hingga SMA rentan terpancing emosi, sehingga menimbulkan perkelahian, terangnya.

Menurut Clara, pentingnya pendidikan usia dini mengacu dari hasil penelitian sekelompok pemerhati pendidikan di Chicago, Amerika Serikat, tahun 70-an yang menemukan bahwa anak yang mendapat pendidikan dini pada usia dewasa (17-25) dapat mengendalikan konflik, bahkan meredamnya.

Metode yang diajarkan kepada anak-anak disesuaikan dengan umur. Gerakan tubuh diterapkan untuk anak umur 0-1 tahun, simulasi benda sinar pada anak 1-2 tahun, sosialisasi dan interaksi kepada anak antara umur 2,5-3. Sementara pada umur 3,5-7 tahun sudah mulai memasuki sisi keilmuan, seperti membaca dan berhitung.

Untuk anak usia enam bulan, kita mengajarkan gerakan dan stimulasi sosial seperti berkumpul dengan bayi lain. Konkretnya, ketika ada bayi lain menangis, bayi tersebut cenderung menangis. Ini mengajarkan sebuah empati sedini mungkin, papar Clara.

Adalah tugas orang tua untuk mengajarkan pendidikan dini. Bila orang tua belum mampu secara optimal untuk melakukannya, mereka bisa mendaftarkan anak-anaknya di sekolah yang menerapkan pendidikan dini. Antara lain jenis sekolah invent untuk anak umur 0-1 tahun, toddler 1-2 tahun, preschool 2,5-3 tahun, kindergarten 3,5-5 tahun, dan sekolah dasar 6 tahun ke atas.

Sekarang banyak sekolah seperti itu di Indonesia. Semakin bertambah tiap tahun. Perkembangan itu terlihat sejak tahun 80-an akhir. Meski sekolah yang ada rata-rata dimiliki swasta, terang Clara, lulusan Chicago, Amerika Serikat.

Meskipun demikian, Clara mengimbau agar para orangtua tidak termakan stigma yang menyatakan sekolah swasta lebih baik ketimbang negeri. Kita perlu menganalisis apakah sekolah itu cocok untuk kepribadian sang anak atau tidak. Dan ini adalah tugas orangtua, imbau Clara.

Karena orangtua perlu serius melakukan observasi dahulu sebelum memasukkan anaknya. Menurut Clara, sekolah-sekolah yang kredibel akan memberikan masa observasi bagi orangtua untuk mengenali sistem pendidikan yang diterapkan, metode pengajaran, kondisi kelas, mutu pengajar, dan pendidikannya.

Bila ada sekolah yang tidak memberikan izin itu, patut dipertanyakan, terangnya. Clara memperingatkan agar para orangtua tidak tertipu dengan bangunan fisik daripada kualitas sekolah.

Selain terlatih kemampuannya dalam mengendalian konflik, anak yang mendapatkan pendidikan dini akan terasah pribadinya menjadi pemimpin masa depan melalui pembebasan cara berpikir dan mengeluarkan ide-ide.

Kita menciptakan pemimpin dan bukan pekerja, yang hanya menunggu gaji saja, ujarnya. Faktor pendukung pembentukan pola pikir dan karakter menurut Clara dipengaruhi perbandingan antara jumlah anak dengan murid di kelas.

Sumber : Kompas.com

Pencari Bakat Anak Berkebutuhan Khusus

Tidak ada kesejarahan yang menyebabkan keterlibatannya dengan dunia orang-orang berkebutuhan khusus, kecuali latar belakang kuliahnya di IKIP Yogyakarta, Jurusan Pendidikan Luar Biasa. Tidak banyak pula orang yang berusaha menampilkan orang-orang berkemampuan khusus ini secara massal dalam sebuah gerakan.
Orang yang melibatkan diri dalam dunia orang-orang berkebutuhan khusus dalam satu kehebohan massal itu adalah Ciptono.

Kehebohan terjadi pada suatu hari di tahun 2002. Pada hari itu, jalan-jalan protokol Kota Semarang dipadati arak-arakan mereka yang berkebutuhan khusus, mulai dari tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunagrahita. Mereka berjalan perlahan, merayap di atas kursi roda bersama orangtua dan guru-guru sekolah luar biasa. Hari itu sekan-akan menjadi ”hari mereka yang berkebutuhan khusus”.
”Tujuan saya mengadakan acara bagi mereka yang berkebutuhan khusus itu tidak lain untuk mencari bakat-bakat terpendam yang ada pada diri mereka. Ternyata saya memang bisa menemukan bakat-bakat mereka,” kata Ciptono.

Dia mengenang kiprahnya di balik penyelenggaraan acara bertajuk ”Lomba Jalan Sehat Keluarga Pendidikan Luar Biasa” itu.
Pria kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, ini ditemui di Jakarta pekan lalu seusai menerima penghargaan ISO 2009 di Lampung.
Ciptono lalu menjelaskan latar belakang diadakannya acara jalan sehat itu. Acara tersebut diselenggarakan agar para siswa berkebutuhan khusus bisa tampil lebih percaya diri di tengah masyarakat. Prinsipnya, kata Ciptono, ”Mereka (berkebutuhan khusus) tidak perlu dikasihani, tetapi harus diberi kesempatan.”

Maka, acara itu kemudian digunakan sebagai kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk menampilkan kemampuannya, di bidang seni maupun keterampilan.
Dari acara terbesar pertama di Semarang bagi mereka dengan kebutuhan khusus ini ditemukanlah Delly Meladi, penyandang tunanetra bersuara merdu yang mampu menghafal lebih dari 1.000 lagu. Penyandang tunanetra lainnya, Mega Putri, ditemukan sebagai pembaca puisi. Ada lagi Bambang Muri, penyandang tunagrahita, yang sama seperti Delly pandai bernyanyi.
Ciptono tidak menyangka bahwa kegiatan jalan sehat itu telah melahirkan efek domino yang baik bagi perubahan mereka dengan kebutuhan khusus. Selain bisa muncul dari panggung ke panggung, suara mereka juga direkam dalam bentuk kaset atau video compact disc (VCD).

Sampai sekarang Ciptono telah menghasilkan lima VCD dan satu kaset. Salah satunya adalah VCD yang dikeluarkan Badan Koordinasi Pendidikan Luar Biasa Jawa Tengah berlabel Keplok Ora Tombok (ikut bersenang-senang tanpa membayar).
VCD itu menampilkan Delly, Mega, dan Bambang. Penari latar yang mengiringi ketiga penyanyi itu pun berasal dari siswa-siswi SMALB C/D1 YPAC Semarang.
”Pokoknya semua yang terlibat di dalamnya adalah anak-anak berkebutuhan khusus,” kata Ciptono.

Setelah lulus dari Universitas Negeri Yogyakarta (dulu bernama IKIP Yogyakarta) tahun 1987, Ciptono langsung mengajar di SLB Wantu Wirawan Salatiga dengan gaji Rp 5.000 per bulan plus Rp 700 untuk uang transpor.
Dia berkisah, uang sebesar itu habis dalam waktu lima hari saja. Untunglah, karena orangtuanya terbilang mampu, ongkos transportasi sehari-hari ditanggung ayahnya, Jayin Hartowiyono. Sementara sang ibu, Suntianah, menyerahkan semua keputusan untuk tetap mengajar di SLB kepada Ciptono.

Dia mengaku, jiwa sosial untuk menolong anak-anak berkebutuhan khusus itu muncul sejak lulus SMA tahun 1982.
”Maunya lulus Fakultas Kedokteran UGM karena saya bercita-cita menjadi dokter. Tetapi, karena diterimanya di IKIP Jurusan Pendidikan Luar Biasa, ya saya harus mengajar di SLB,” katanya.
Meski orangtuanya cukup berada karena memiliki armada bus Gotong Royong dan Hidayah di kota kelahirannya, Salatiga, saat masih kanak-kanak Ciptono dititipkan kepada neneknya dengan pendidikan ”keras”. Ia mengaku, neneknyalah yang mendidiknya untuk mencintai sesama, khususnya mereka yang tidak mampu dan berkekurangan.
”Boleh dibilang saya dilatih (Nenek) untuk tidak tegaan,” katanya.

Tahun 1989 ia mengajar Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa dan dasar-dasar pendidikan luar biasa di pendidikan guru agama negeri. Pada tahun itu juga ia menjadi calon pegawai negeri sipil SLB C YPAC Semarang. Dari keseringannya bergaul dengan mereka yang berkebutuhan khusus, Ciptono mulai menemukan kenyataan bahwa di antara anak-anak itu ada yang memiliki bakat khusus.
Misalnya, ia menemukan Andi Wibowo, penyandang tunagrahita yang mampu menggambar dengan menggunakan dua tangan secara bersamaan. Andi ”hanya” memiliki IQ 60, di mana umumnya, menurut Ciptono, anak-anak itu ber-IQ 90.

Untuk memunculkan anak-anak berkebutuhan khusus yang punya kemampuan khusus, ada saja acara yang dia ciptakan setiap tahun, mulai dari donor darah, halalbihalal, sampai merayakan Natal. Semua acara itu selalu melibatkan siswa-siswi berkebutuhan khusus. Sampai-sampai saat mereka tampil di sebuah mal pada 19 Desember 2008, banyak orang tidak percaya bahwa itu suara asli mereka yang berkebutuhan khusus.
”Mereka tahunya itu suara pura-pura atau tiruan, bukan suara mereka yang sebenarnya. Padahal, itu asli suara mereka dengan kebutuhan khusus, mulai dari tingkat SD sampai SMA,” tutur Ciptono.

Atas prestasinya memberdayakan anak-anak berkebutuhan khusus, Ciptono yang pada 2003 menyabet juara I Lomba Mengarang dan Pidato Antarguru SLB se-Jawa Tengah itu mendapat berbagai penghargaan dari dinas pendidikan sampai Departemen Pendidikan Nasional.
Ia juga memperoleh tujuh rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) atas kepeduliannya kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Penghargaan lainnya adalah sebagai guru SLB berdedikasi tinggi dari dinas pendidikan setempat pada tahun 2003. Tahun 2005 ia menerima penghargaan sebagai guru berdedikasi tinggi dari Mendiknas Bambang Sudibyo, dan tahun 2006 menjadi juara guru kreatif.
Agustus 2008 Ciptono menyabet juara pertama lomba manajemen pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus tingkat nasional.

”Saya mendapat hadiah Rp 10 juta dari Gubernur Jawa Tengah atas prestasi ini,” kata Ciptono yang tiga kali mendirikan SLB, yakni SLB Hajjah Sumiati, SD Bina Harapan, dan belakangan ini ia membuka sekolah di garasi untuk anak-anak berkemampuan khusus.
Jabatan formal Ciptono adalah Kepala Sekolah SLBN Semarang yang membawahkan 60 karyawan dan guru. Sepuluh di antaranya sudah menjadi pegawai negeri sipil, sedangkan selebihnya masih sebagai tenaga honorer.
Uniknya, 20 persen karyawannya itu haruslah dari anak-anak berkebutuhan khusus. Sekarang ini, misalnya, dikaryakan dua penyandang tunadaksa, dua penyandang tunarungu, dan satu penyandang tunanetra.
”Asisten guru pun diangkat dari anak-anak berkebutuhan khusus ini,” kata Ciptono menambahkan.

Sumber : Kompas.com

LP Anak Medan Terima Bantuan 400 Judul Buku

Lembaga Permasyarakatan (LP) Kelas II A Anak Tanjung Gusta, Medan menerima 400 judul buku dari Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperdasda) Sumut, Sabtu (14/2).
Bantuan buku tersebut setiap bulannya akan diganti agar warga binaan LP Anak Medan memperoleh ilmu seperti anak-anak yang ada di luar penjara.
Kepala Baperdasda Sumut, Syaiful Syafri, ketika menghadiri peresmian Layanan Khusus Pendidikan “Baringin” di LP Klas IIA Anak Medan, mengatakan untuk mendidik warga binaan itu, pihaknya akan menugaskan beberapa stafnya untuk membimbing warga binaan tersebut.
Selain itu, staf juga akan memberikan tuntutan dan tata cara bagaimana mengelola perpusatakaan.
Dia menjelaskan, pendidikan sangat berharga bagi warga binaan LP Anak Medan. Sebab, mereka juga wajib dan memiliki hak memperoleh ilmu, walaupun mereka berada di dalam penjara.
”Kita akan terus melakukan hal ini. Dengan memiliki ilmu pendidikan, maka warga binaan bisa menjadi orang yang lebih baik jika bebas nantinya. Dan mereka juga bisa menjadi orang yang taqwa kepada Tuhan YME,” sebut Syaiful.

Layanan Pendidikan Diresmikan :
Lapas Klas IIA Anak Tanjung Gusta Medan mendirikan Pendidikan layanan khusus ” Baringin” dan diresmikan, Sabtu (14/2). Pendirian pendidikan layanan ini agar tahanan atau napi LP Anak Medan bisa mendapati pendidikan seperti halnya anak-anak lainnya yang mendapat pendidikan di luar penjara.
Acara peresmian itu dihadiri Kepala Kanwil Depkum dan HAM Sumut H Sihabuddin BcIP SH, Kepala LP Anak Medan, Kadiv Pas Sugihartoyo Bc.IP SH, Siswanto BcIP SH, kepala LP Dewasa Medan Samuel Purba Bc.IP SH, Kepala Dinkes Medan dr Umar Zein, Pejabat Dinas Pendidikan Medan dan 9 LSM.
Kepala Kanwil Depkum dan HAM Sumut Sihabuddin mengatakan, kegiatan yang dilaksanakan pendidikan layanan khusus “Baringin” antara lain menjahit, pelatihan, melukis, kegiatan olah raga, perpustakaan, pembuatan paving blok dan shutlerun. Kegiatan ini kerjsama antara Direktorat pembinaan dengan Dirjen sekolah dasar dan menengah dibantu Badan Perpustakaan Sumut.
Sementara itu, kepala LP Anak Medan Siswanto mengatakan, LP sebagai lembaga pendidikan dan pembangunan. Dimana warga binaan dapat aktif berperan dalam pembangunan dan hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab.

Sumber :Medan Bisnis online.com

Mendiknas: Anak Berkebutuhan Khusus Perlu Dibekali Keterampilan

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo mengatakan anak berkebutuhan khusus selain diberi pengetahuan akademik, keagamaan dan budi pekerti, juga perlu dibekali dengan berbagai keterampilan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.
Berbagai keterampilan itu diharapkan menjadi bekal bagi anak berkebutuhan khusus saat memasuki kehidupan di masyarakat, kata menteri dalam sambutan yang dibacakan Dirjen Dikdasmen Depdiknas Suyanto, Senin (27/8) saat membuka Lomba Jambore dan Gebyar Siswa Sekolah Luar Biasa Tingkat Nasional 2007 di gedung olahraga Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Pembukaan Lomba Jambore dan Gebyar Siswa Sekolah Luar Biasa Tingkat Nasional 2007 yang juga dihadiri Wakil Gubernur DIY Paku Alam IX itu akan berlangsung hingga 30 Agustus.
Menurut Mendiknas, anak berkebutuhan khusus hingga saat ini memberikan kontribusi cukup besar terhadap belum tercapainya pengentasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang ditargetkan hingga 2009. Karena itu layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus tetap diprioritaskan pada tingkat pendidikan dasar.

Seperti dilansir Antara, ia mengingatkan, Undang-Undang (UU) Nomor 4/1997 tentang Penyandang Cacat menyatakan bahwa setiap penyandang cacat memiliki kesempatan dan hak sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, yang tidak hanya dalam bidang pendidikan, tetapi juga kehidupan inklusif yang penuh kedamaian, kebersamaan dan keadilan.
Pada prinsipnya setiap warga negara dalam kondisi dan situasi apa pun memiliki hak sama untuk memperoleh pendidikan bermutu yang dapat mengembangkan potensi sesuai bakat dan kemampaunnya, katanya.

Sedangkan UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengisyaratkan bahwa pendidikan luar biasa dengan paradigma baru tidak hanya menangani warga negara yang memikili kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan sosial, tetapi juga warga negara dengan tingkat kecerdasan istimewa, atau selama ini dikenal sebagai pendidikan khusus.
Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan luar biasa juga memberikan layanan pendidikan kepada warga negara yang berada di wilayah terpencil dan terbelakang atau mereka yang dalam kondisi dan situasi tertentu mengalami kesulitan memperoleh pendidikan layak. Di sini yang perlukan adalah pendidikan layanan khusus, katanya Diikuti 1.056 siswa.

Lomba prestasi dan kreativitas siswa Pendidikan Khusus (PK) dan Pendidikan Layanan Khusus (PLK) tingkat nasional 2007 ini diikuti 1.056 siswa luar biasa dari 33 provinsi di Indonesia.
Siswa luar biasa yang mengikuti lomba tingkat nasional tersebut terdiri dari siswa yang menderita ketunaan, siswa yang memiliki kecerdasan istimewa, dan siswa dengan bakat istimewa, kata Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sugito.
Tujuan lomba prestasi ini adalah untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa anak-anak yang memiliki kekurangan ternyata juga memiliki kelebihan yang patut dihargai.
Lomba yang dipertandingkan oleh siswa tunanetra dari Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dan Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) adalah lomba menyanyi. Sedangkan siswa tunarungu dari SDLB, SMPLB, dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) masing-masing akan mengikuti lomba melukis, mengarang, dan \'modelling\'.

Sementara itu, siswa tunagrahita dari SDLB akan mengikuti lomba kemampuan merawat diri,dan bagi tunagrahita dari SMALB akan dipertandingkan lomba lari 50 meter.
Siswa-siswa tunadaksa dan tunalaras dari SDLB dan SMALB akan unjuk kebolehan mereka dalam bidang akademis melalui lomba cerdas cermat matematika dan ilmu pengetahuan alam, katanya.

Ia mengatakan, dalam ajang ini siswa-siswa dengan kecerdasan dan bakat istimewa juga diberi kesempatan untuk menunjukkan keistimewaannya melalui berbagai lomba yang akan digelar.
Bagi siswa dengan kecerdasan khusus dari SD, SMP, dan SMA akan digelar lomba cerdas cermat IPA dan aritmatika, cerdas cermat MIPA, dan lomba bahasa Inggris. Sedangkan mereka yang memiliki bakat istimewa akan berkompetisi dalam lomba menulis bahasa Inggris, membaca bahasa Inggris, menerjemahkan bahasa Inggris, lomba atletik, festival band, dan modelling.
Selain kegiatan berupa lomba-lomba, dalam ajang tersebut juga akan ditampilkan kreativitas seni siswa SD, SMP, SMA, dan SLB, ucapnya.

Sumber : Harian umum pelita

Ketua MA: Lembaga Pendidikan Khusus Pemerintahan Tak Diperlukan

Jakarta (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan menyatakan, Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) sudah cukup sebagai penyedia tenaga kerja yang duduk di pemerintahan.

Menurut Bagir, ketika ditemui di Gedung MA, Jakarta, Jumat, sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi lembaga pendidikan tinggi yang khusus menyediakan tenaga kerja administrasi untuk pemerintahan.

Namun, Bagir mengatakan, sikapnya itu bukan untuk membicarakan apakah Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) perlu dibubarkan atau tidak.

"Kita bicara kontekstual saja, bukan bubarkan atau tidak bubarkan," ujarnya.

IPDN, lanjut dia, adalah lembaga tinggi akademi yang ditujukan untuk menghasilkan orang-orang yang akan mengisi jabatan administrasi pemerintahan.

Sebenarnya, kata Bagir, sudah ada dua lembaga pendidikan tinggi yang merupakan penyedia tenaga kerja pemerintahan, yaitu Fakultas Hukum dan FISIP.

"Kalau ini sudah dirasa cukup, kita tidak perlu lagi lembaga khusus. Ambil saja dari situ," ujarnya.

Fakultas hukum dan FISIP, menurut Bagir, sudah cukup memadai sebagai penyedia tenaga kerja pemerintahan sesuai dengan fungsi pemerintahan tersebut.

Fakultas hukum, lanjut dia, menyediakan tenaga kerja untuk penegakan dan pelayanan hukum, sedangkan FISIP untuk tenaga penyelenggara manajemen dan administrasi pemerintahan.

Sumber : Antara News

Kelas Super, Wadah Pendidikan Khusus Bagi Anak-Anak Jenius

Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta bekerjasama dengan Yayasan Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), dan Bayerische Motoren Werke (BMW) Indonesia baru saja me-launching kelas super khusus bagi anak jenius. September nanti, pendidikan bagi anak-anak pilihan ini akan dimulai.

PRESTASI anak-anak Indonesia di berbagai olimpiade sains internasional melahirkan inspirasi untuk membuat wadah bagi anak-anak yang berkemampuan tinggi. Karena itulah dibuat kelas khusus bagi anak-anak jenius yang nantinya akan mewakili Indonesia dalam berbagai even internasional.

"Kami menyebutnya kelas super. Karena isinya memang anak-anak berkemampuan super," kata Kepala Dinas Dikmenti DKI Jakarta Margani M. Mustar, saat me-launching kelas itu 10 Agustus lalu. Untuk sementara, kelas super ini baru dibuka di Jakarta. Ke depan, Dikmenti akan mengembangkan ke beberapa kota, seperti Surabaya, Semarang, Jogjakarta, dan Bandung.

Anak-anak berkemampuan super, memang ditengarai sangat banyak di Indonesia. Ketua Yayasan TOFI Prof Yohanes Suryo, pernah menguji IQ 1.500 siswa SMA di Indonesia. Di antara anak-anak tersebut, terdapat 40 siswa yang memiliki IQ di atas 150.

Untuk di Jakarta, Dinas Dikmenti meminjam salah satu ruang SMAN 3 Jakarta sebagai tempat belajar anak-anak kelas super. Alasannya, fasilitas yang tersedia di sekolah sudah memadai. Lokasinya juga cukup strategis, yakni di kawasan Kuningan. Kelas super juga akan memanfaatkan laboratorium-laboraturium di beberapa SMA lain.

Dalam satu-dua minggu ini proses seleksi akan dilakukan. Menurut Yohanes Suryo, yang berhak mengikuti seleksi adalah siswa yang memiliki nilai total minimal 28 dalam ujian nasional SMP, atau dengan rata-rata nilai minimal 9,33. Syarat lainnya, yakni memiliki nilai matematika 10.

Hasil penjaringan sementara, terdapat sekitar 3.000 siswa yang memenuhi persyaratan di atas. Selain itu akan diseleksi 2.000 siswa yang memiliki minat khusus di bidang sains. "Jadi total yang akan diseleksi sebanyak 5.000 siswa. Mereka akan menjalani tes potensi akademik (TPA). Jumlah itu dikerucutkan menjadi 50 siswa untuk mengikuti tes wawancara," kata Yohanes," kata Yohanes.

Lantas, seperti apa kelas super ini nantinya? Yohanes menjelaskan, dalam satu kelas terdiri dari 20-40 siswa. Mereka akan dibimbing oleh tenaga pengajar khusus bergelar master dan doktor (S2 dan S3). Para guru ini berasal dari beberapa lembaga seperti BPPT, Puspitek, ITB, dan sebagainya. Tentu saja, honor guru-guru ini juga berstandar lebih tinggi disbanding guru biasa. Maklum, BMW Indonesia memberikan support yang besar dalam program ini.

Kurikulum yang diberikan juga sedikit berbeda. Siswa akan mendapat materi pelajaran selevel dengan perguruan tinggi. "Asumsinya, pelajaran se-level SMA sudah mereka kuasai," kata Yohanes.

Pada saat kelas I, para siswa akan mendapat pelajaran fisika, biologi, kimia, matematika, dan komputer. Materinya disamakan dengan yang diterima mahasiswa semester pertama dan kedua. Untuk materi bahasa Inggris, akan diarahkan untuk penguasaan materi percakapan. Sedangkan, pelajaran bahasa Indonesia difokuskan untuk memberikan kemampuan menulis karya ilmiah. Para siswa ini juga diberi materi budi pekerti serta pelajaran musik klasik.

Saat naik ke kelas dua, siswa sudah diarahkan pada spesialisasi pelajaran tertentu. Makanya, materi sains yang diberikan juga fokus pada salah satu pelajaran, yakni matematika, kimia, biologi, atau kimia. Kelompoknya dirampingkan menjadi 5 siswa setiap kelas. Penyampaian materi juga dalam bahasa Inggris. Sedangkan pelajaran bahasa Inggris diarahkan pada kemapuan TOEFL dan menulis paper.

Untuk menambah wawasan, juga diberikan materi ekonomi, sosial, dan budaya. Juga diberikan materi kepemimpinan mengasah kemampuan para siswa dalam presentasi dan diskusi.

Sumber : Pontianak Post

Pengembangan pendidikan berwawasan kewirausahaan sejak usia dini

Upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia telah lama dilakukan. Berbagai program dan inovasi pendidikan seperti penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku ajar dan buku referensi lainnya, peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan dan masih bayak hal lagi yg dilakukan. Namun sampai saat ini mutu pendidikan masih kurang memenuhi harapan. Peningkatan mutu pendidikan berarti peningkatan mutu sumber daya manusia. Sementara mutu pendidikan belum menggembirakan, berarti mutu sumber daya manusia Indonesia juga belum menggembirakan. Kini Indonesia menghadapi dua tantangan, ialah tantangan dari dalam dan dari luar.

Dari dalam negeri krisis ekonomi belum juga berakhir sehingga pengangguran terus bertambah. Di bidang pendidikan sendiri, data Depdiknas menunjukkan bahwa sekitar 88,4% lulusan SLTA tidak melanjutkan ke PT, dan 34,4% lulusan SLTP tidak melanjutkan ke SLTA. Mereka setiap tahun menambah jumlah deretan pencari kerja, sementara bekal untuk kesiapan kerja belum dimiliki.

Dari luar negeri tantangan akan muncul dengan disepakatinya AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area) tahun 2003. Konsekuensinya adalah tenaga kerja kita dalam berbagai sektor kehidupan harus mampu bersaing dengan tenaga kerja asing dari negara-negara tetangga di lingkungan Asean.

Melihat kondisi tersebut, maka dunia pendidikan harus mampu berperan aktif menyiapkan sumberdaya manusia terdidik yang mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan baik lokal, regional, nasional maupun internasional. Ia tidak cukup hanya menguasai teori-teori, tetapi juga mau dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sosial. Ia tidak hanya mampu menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku saekolah/kuliah, tetapi juga mampu memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Sumber : LPMP DKI jakarta

Arah Baru Pendidikan Masa Depan

Pendidikan yang mampu melayani semua anak dalam keragaman dan perbedaan, dengan fokus untuk mengoptimalkan potensi anak secara penuh, kini menjadi kecenderungan reformasi pendidikan yang tengah dikembangkan banyak negara. Inilah pendidikan inklusi yang diharapkan menciptakan proses pendidikan yang ramah anak.

Pendidikan inklusi menjadi jembatan untuk mewujudkan pendidikan untuk semua atau education for all, tanpa ada seorang pun yang tertinggal dari layanan sistem pendidikan. Pendidikan inklusi ini diyakini membuat sekolah dan masyarakat menjadi lebih baik. Ke depan, pendidikan inklusi juga bisa menghancurkan eksklusivitas sosial dalam masyarakat.

Sheldon Shaeffer dari Biro Pendidikan Regional Asia Pasifik UNESCO, dalam Konferensi Persiapan Regional Asia Pasifik mengenai Pendidikan Inklusi di Denpasar, Bali, akhir Mei lalu, menjelaskan, pendidikan inklusi merupakan sebuah proses menuju dan merespons keragaman kebutuhan peserta didik melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya, dan masyarakat, serta mengurangi ketertinggalan dalam dan dari pendidikan.

Semangat pendidikan inklusi memandang perbedaan di antara para siswa sebagai sebuah tantangan yang memberikan keuntungan, bukan hambatan dalam pembelajaran di sekolah. Pendidikan yang demikian mampu terlaksana jika kita mengakui bahwa semua anak berhak mendapat pendidikan berkualitas.

”Pendidikan inklusi, khususnya di Asia, tidak hanya bagaimana mengintegrasikan sekelompok anak dalam suatu pendidikan khusus. Perlu difokuskan bagaimana mengembangkan strategi menghilangkan hambatan-hambatan dalam belajar dan sebaliknya semua anak bisa berpartisipasi. Hanya dengan cara ini, kita dapat mencapai pendidikan berkualitas bagi semua,” kata Sheldon.

Karena itu, perlu diciptakan sekolah ramah anak supaya mereka sadar akan hak-hak mereka untuk mendapatkan pendidikan berkualitas baik. Sheldon menyebutkan sekolah ramah anak adalah sekolah yang mencari anak. Artinya, sekolah itu harus mau mengidentifikasi anak-anak yang tidak terjangkau dan membantu mereka untuk mendapatkan hak pendidikan.

Sekolah juga harus berpusat pada anak, yaitu mengembangkan potensi anak secara penuh meliputi semua perkembangan anak, yakni kesehatan, status gizi, dan kesejahteraan, serta peduli terhadap apa yang terjadi pada anak sebelum masuk sekolah dan setelah lulus.

”Yang penting dari semua adalah sekolah harus memiliki kualitas lingkungan belajar yang baik, yakni yang responsif jender, mendorong partisipasi anak-anak, keluarga, dan masyarakat,” kata Sheldon.

Namun, pada kenyataannya masih banyak anak-anak yang tertinggal dari layanan pendidikan. Mereka adalah anak-anak penyandang ketunaan atau berkebutuhan khusus, anak-anak jalanan dan pekerja anak, anak-anak yang berada di lingkungan yang sulit seperti konflik bersenjata dan bencana alam, anak-anak yatim piatu dan yang dibuang, anak-anak dari keluarga sangat miskin, anak-anak yang terinfeksi HIV/AIDS, serta anak-anak migran/pengungsi.

Di dunia ada 72,13 juta anak usia sekolah dasar yang tidak bersekolah—27 juta di antaranya ada di kawasan Asia Pasifik. Sebanyak 56,8 persen adalah perempuan.

perhatian dunia

Renato Opertti dari Biro Pendidikan Internasional UNESCO mengatakan, pendidikan inklusi telah tumbuh menjadi perhatian dunia yang menantang proses reformasi pendidikan di negara maju dan berkembang. Sasarannya adalah memberikan layanan pendidikan berkualitas yang didefinisikan kembali sebagai proses belajar dengan memperhitungkan kemampuan belajar anak yang berbeda, mengurangi eksklusivitas, dan tidak mengajarkan pengetahuan akademik yang tinggi semata.

Untuk dapat melaksanakan pendidikan inklusi ini dibutuhkan sistem pendidikan dan peran guru yang mengarah pada paradigma baru pendidikan, yaitu mampu memanusiakan anak-anak didik. Untuk komitmen ini butuh pengajaran kuat pada guru sejak pendidikan di perguruan tinggi hingga pendidikan selama menjadi guru.

Pengajaran guru seharusnya didasarkan pada paradigma untuk bisa memahami siswa dalam keberbedaannya. Dengan kurikulum yang fleksibel, guru akan mudah mengerti mengenai perbedaan anak-anak yang memiliki kapasitas khas.

Pendidikan guru dibawa untuk mengubah label-label yang mempertahankan hierarki kemampuan yang sering kali menutup potensi siswa. Yang ditekankan justru potensi belajar terbuka bagi setiap siswa dan distimulasi.


Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, kebijakan pendidikan Indonesia mengharuskan tidak boleh ada anak tertinggal layanan pendidikan, dan pendidikan dilakukan secara holistik. Tantangan di Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar, heterogen, dan wilayah yang sangat luas.

Upaya menjangkau semua warga untuk menikmati pendidikan terus dilakukan dan ditingkatkan. Anak-anak berkebutuhan khusus seperti penyandang berbagai ketunaan dan anak cerdas istimewa mendapat pendidikan khusus dengan sekolah atau kelas khusus atau kelas akselerasi.

Untuk anak-anak jalanan, di daerah terisolasi, miskin, pengungsi, atau di daerah konflik dan bencana alam, diberikan pendidikan layanan khusus.

Sumber; kompas.com/ Senin, 9 Juni 2008

IIQ Utamakan Pendidikan Khusus Wanita [Agama dan Pendidikan]

BERTEPATAN dengan Hari Ibu, tanggal 22 Desember 2008, civitas Institut Ilmu Al-Qur\'an (IIQ) mendapat anugerah besar bahwa di Kampus II Terpadu IIQ Pamulang dilakukan peletakan batu pertama pembangunan Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa). Untuk mengetahui sejauh mana pembangunan Rusunawa dan kaitannya dengan pendidikan tinggi khusus wanita ini, wartawan Pelita mewawancarai Ketua Umum Yayasan IIQ, Hj Harwini Joesoef.

Peletakan batu pertama pembangunan Rusunawa IIQ bertepatan dengan Hari Ibu, bisa Ibu jelaskan?
Perlu diketahui bahwa Institut Ilmu Al-Qur\'an sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi yang takhassus membidangi Al-Qur\'an dan ilmu-ilmu Al-Qur\'an lainnya, dari sejak awal berdirinya memang berkomitmen mengutamakan kepentingan pendidikan wanita. Karena menurut pandangan kami bahwa wanita merupakan pendidik utama dan tiang pembangunan yang kuat dan kokoh baik bagi kepentingan pembangunan di lingkungan keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara.

Untuk itu, sangat wajar jika peletakan batu pertama pembangunan Rusunawa di Kampus IIQ ini bertepatan dengan Hari Ibu, tanggal 22 Desember. Saya sebagai wanita pun menyadari, perjuangan membekali kaum wanita, khususnya di bidang ke-Qur\'an-an tidak mudah. Dituntut keridhaan dan keikhlasan. Begitu juga mahasiswi IIQ dituntut selain dapat membaca Al-Qur\'an dengan baik dan tartil serta menghafal Al-Quran, mereka juga mengetahui makna yang terkandung dalam ayat-ayat suci Al-Quran.
Bagaimana tanggapan Ibu tentang dibangunnya Rusunawa ini?

Tentunya bagi kami, khususnya civitas akademika IIQ sangat gembira dan bangga memiliki Rusunawa. Rusunawa ini sangat berarti dan pembangunannya sudah lama dinanti-nantikan oleh para wanita penghafal Al-Qur\'an, khususnya di lingkungan Kampus IIQ. Menghafal Al-Qur\'an di tempat yang tenang, baik dan rapi juga akan menambah kenyamanan bagi anak-anak untuk terus meningkatkan kualitas mereka. Pembangunan Rusunawa berkapasitas 400 orang itu seluruhnya ditanggung oleh Menpera. Kami hanya menyediakan lahan seluas 1.000 m2, mengurus IMB, izin tata ruang, dan mebel, seperti meja, kursi, lemari, dan lain-lain. Pembangunan Rusunawa tersebut akan selesai dalam waktu empat bulan.

IIQ, Sabtu (27/12) besok mewisuda lulusannya, bisa Ibu jelaskan?
Ya, kami akan mewisuda lulusan IIQ Jakarta baik S-1 maupun S-2. Jumlahnya sekitar 150 orang di Wisma Syahida Universitas Islam Negeri (UIN) Ciputat. Diharapkan dalam wisuda tersebut hadir Menteri Agama H Muhammad Maftuh Basyuni, Gubernur DKI Jakarta H Fauzi Bowo, Dewan Penyantun IIQ seperti H Try Sutrisno, H Muhammad Sudomo, RS Museno, Rektor IIQ Dr KH Ahsin Sakho, dan Sekretaris Umum Yayasan IIQ H Azhari Baedlawie, MM.
Apa harapan Ibu ke depan?

Kami berharap tetap dapat berkiprah di Yayasan IIQ dan selalu turun memantau keberadaan IIQ yang memang sejak didirikannya bertujuan membina para wanita muslimah dan berusaha mencetak ulama yang hafal dan menguasai ilmu-ilmu Al-Qur\'an, memiliki wawasan luas, berakhlak mulia, dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan umat dan masa depan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kami pun sangat menyadari bahwa proses untuk mencapai tujuan pendidikan yang dimaksud, kiranya bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Untuk itu, tentu membutuhkan tekad dan upaya yang kuat, disertai dengan keikhlasan, kedisiplinan, dan sikap konsisten dalam perjuangan.

Sumber : Harian umum Pelita

Baru 64.000 Anak Cacat Mendapat Pendidikan Khusus

Jakarta - Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto.

"Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu.

Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.

"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.

Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.

Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.

Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu.

Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan.

"Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.

sumber :Antara News

Perhatian Khusus pada Pendidikan Khusus.

Sayang seribu sayang, dunia pendidikan kita tampaknya masih terfokus mencetak “generasi pintar”. Generasi ini lebih mengutamakan pencapaian prestasi program belajarnya dengan sasaran “mengejar ranking atau nilai NEM (nilai evaluasi murni) dan UN (ujian nasional) tinggi” atau menjadi juara lomba mata pelajaran tertentu.
Indonesia banyak melahirkan sederet juara olimpiade internasional, baik di bidang pelajaran matematika, sains, fisika, kimia maupun olahraga. Pertanyaannya, dengan mencetak generasi yang bertumpu pada logika (otak kiri) itu, apa yang bisa diharapkan demi kemajuan bangsa ke depan? Kita lupa, bangsa yang dibangun hanya dengan mengandalkan ilmu, tanpa bekal kreativitas dan moral, hanya akan menghancurkan bangsa itu sendiri.
Menurut penelitian mutakhir di AS, peran logika bagi sukses seseorang hanya 4%. Selebihnya (96%) sukses seseorang ditentukan oleh kemampuan “otak kanan” yang punya andil besar dalam hal kreativitas, imajinasi, inovasi, daya rasa, kreasi, seni, kemampuan mencipta dan merekayasa. (MI, 16/1′06) Kemampuan otak sadar manusia sendiri sebenarnya hanya 12% dari seluruh kemampuan otak manusia dan selebihnya (88%) berada di otak bawah sadar, tepatnya di otak kanan. (Quantum Ikhlas, 2007).
Inilah rahasia bangsa Jepang, Korea, China, Singapura, dan negara-negara Barat hingga menjadi bangsa maju. Belakangan hal itu mulai diketahui dan disadari pula di India, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina. Indonesia? Barangkali baru sebagian kecil orang memahami pentingnya pengembangan peran otak kiri bagi sebuah sistem pendidikan.
Ironis, di tengah bangsa-bangsa lain makin aktif mengembangkan model pendidikan ke arah yang lebih baik, Indonesia justru masih berkutat pada berbagai masalah kompleks. Waktu, pikiran dan tenaga kita seolah terkuras hanya untuk membahas masalah pemberantasan korupsi, karut-marutnya pelayanan publik dan masalah birokrasi yang berbelit.
Apa yang salah dengan pendidikan kita? Bukankah sejak duduk di kelas TK, SD, SMP, dan SMA siswa-siswi selain diajarkan beberapa pelajaran umum dan khusus juga tak ketinggalan selalu dicekoki pelajaran agama dan kewarganegaraan? Suasana religius pun selalu melingkupi keseharian anak-anak Indonesia. Khotbah-khotbah agama tak hanya dilakukan di tempat-tempat ibadah, namun juga di televisi, lingkungan kerja dan masyarakat.
Ini bertolak belakang dengan kehidupan nyata masyarakat kita, yang justru kurang mencerminkan nuansa kehidupan agamis. Budaya tertib dan bersih, yang diyakini sebagai bagian dari iman, terabaikan. Tatanan kehidupan masyarakat secara umum pun tidak menunjukkan kebajikan dan keteraturan.
Pelanggaran lalu lintas merupakan hal yang biasa. Budaya antre dan sopan-santun dianggap angin lalu. Kepedulian masyarakat terhadap kebersihan dan lingkungan, rendah. Banyak orang masih membuang sampah sembarangan, sementara fasilitas umum kotor dan bau. Di lain pihak, kasus-kasus perusakan lingkungan dan kriminalitas jalanan selalu menghiasi media massa setiap hari.
Itulah mengapa penulis hendak memaparkan fakta pendidikan dijepang sebagai bahan sharing dan renungan bagi praktisi pendidikan di indonesia melalui artikel dibawah ini
Dari pengalaman ketika berkunjung ke Jepang dan mencermati secara seksama sekolah dasar di negeri Sakura ini, terlihat pembiasaan sikap disiplin dan tingkah laku bermoral telah ditanamkan sejak siswa mulai masuk sekolah. Meski tak dibekali pelajaran agama, tatanan kehidupan masyarakat Jepang nyatanya lebih mapan, tertib, bermoral.
Begitu anak didik memasuki lingkungan sekolah, mereka harus rela dan sabar melepas sepatu untuk ditukar dengan sandal/sepatu khusus yang sudah disediakan di loker-loker. Ketika siswa hendak ke toilet, sandal/sepatu yang dikenakannya pun masih harus ditukar lagi dengan sandal khusus toilet yang terparkir rapi di depan pintu toilet. Ingat, usai memakainya, siswa harus mengembalikannya ke posisi semula untuk memudahkan rekan lain yang akan menggunakan selanjutnya. Meski kelihatannya sepele, namun pembiasaan-pembiasaan ini dapat menumbuhkan kesadaran pada siswa untuk bersikap sabar, bertanggung jawab, menghargai orang lain, hidup bersih dan selalu menjaga kesehatan tubuh.
Di dalam kelas sendiri, anak-anak Jepang sudah dibiasakan melayani teman-teman sekelasnya dengan menyajikan makanan secara bergiliran. Pembiasaan ini untuk menanamkan kesadaran anak-anak agar tertib, disiplin, menghargai budaya antre, rajin, penuh kebersamaan dan peduli sesama.
Di kelas-kelas sekolah Jepang banyak dipajang hasil karya siswa, baik di dinding maupun di atas rak-rak tempat tas siswa. Coraknya beraneka ragam, mulai dari karya dari barang-barang bekas dengan disain robot, mobil, dan bangunan tinggi hingga bentuk-bentuk karya lainnya yang lebih rumit.
Pembiasaan memamerkan hasil cipta karya siswa, merupakan momentum bagi siswa untuk meraih cita-cita. Lewat karya-karya tersebut, anak-anak Jepang kelak diharapkan bisa menjadi perakit mobil, robot, arsitek gedung-gedung bertingkat dan pencipta alat-alat canggih lainnya hingga menjadi kebanggaan bagi bangsanya.
Memang, kemampuan untuk berkreasi mendapat porsi besar dalam sistem pendidikan di Jepang. Sejak dini kemampuan dan kreativitas siswa digali sebesar-besarnya demi disiapkan sebagai tenaga terampil penuh kreativitas di bidang masing-masing di masa depan.
Falsafah Jepang mengatakan, “Anak-anak adalah harta karun negara”. Nasib bangsa masa depan diyakini ada di pundak anak-anak mereka. Maka, negara selalu memperlakukan istimewa anak-anak Jepang, baik dibidang pendidikan, kesehatan, gizi, maupun perkembangan emosionalnya. Sistem pendidikan nasional Jepang pun lebih diarahkan demi kemajuan anak-anak bangsa ke depan.

Sumber : kabarindonesia.com

Bagaimana Jepang Mencetak Generasi Unggul?

Sayang seribu sayang, dunia pendidikan kita tampaknya masih terfokus mencetak “generasi pintar”. Generasi ini lebih mengutamakan pencapaian prestasi program belajarnya dengan sasaran “mengejar ranking atau nilai NEM (nilai evaluasi murni) dan UN (ujian nasional) tinggi” atau menjadi juara lomba mata pelajaran tertentu.
Indonesia banyak melahirkan sederet juara olimpiade internasional, baik di bidang pelajaran matematika, sains, fisika, kimia maupun olahraga. Pertanyaannya, dengan mencetak generasi yang bertumpu pada logika (otak kiri) itu, apa yang bisa diharapkan demi kemajuan bangsa ke depan? Kita lupa, bangsa yang dibangun hanya dengan mengandalkan ilmu, tanpa bekal kreativitas dan moral, hanya akan menghancurkan bangsa itu sendiri.

Menurut penelitian mutakhir di AS, peran logika bagi sukses seseorang hanya 4%. Selebihnya (96%) sukses seseorang ditentukan oleh kemampuan “otak kanan” yang punya andil besar dalam hal kreativitas, imajinasi, inovasi, daya rasa, kreasi, seni, kemampuan mencipta dan merekayasa. (MI, 16/1′06) Kemampuan otak sadar manusia sendiri sebenarnya hanya 12% dari seluruh kemampuan otak manusia dan selebihnya (88%) berada di otak bawah sadar, tepatnya di otak kanan. (Quantum Ikhlas, 2007).
Inilah rahasia bangsa Jepang, Korea, China, Singapura, dan negara-negara Barat hingga menjadi bangsa maju. Belakangan hal itu mulai diketahui dan disadari pula di India, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina. Indonesia? Barangkali baru sebagian kecil orang memahami pentingnya pengembangan peran otak kiri bagi sebuah sistem pendidikan.

Ironis, di tengah bangsa-bangsa lain makin aktif mengembangkan model pendidikan ke arah yang lebih baik, Indonesia justru masih berkutat pada berbagai masalah kompleks. Waktu, pikiran dan tenaga kita seolah terkuras hanya untuk membahas masalah pemberantasan korupsi, karut-marutnya pelayanan publik dan masalah birokrasi yang berbelit.
Apa yang salah dengan pendidikan kita? Bukankah sejak duduk di kelas TK, SD, SMP, dan SMA siswa-siswi selain diajarkan beberapa pelajaran umum dan khusus juga tak ketinggalan selalu dicekoki pelajaran agama dan kewarganegaraan? Suasana religius pun selalu melingkupi keseharian anak-anak Indonesia. Khotbah-khotbah agama tak hanya dilakukan di tempat-tempat ibadah, namun juga di televisi, lingkungan kerja dan masyarakat.

Ini bertolak belakang dengan kehidupan nyata masyarakat kita, yang justru kurang mencerminkan nuansa kehidupan agamis. Budaya tertib dan bersih, yang diyakini sebagai bagian dari iman, terabaikan. Tatanan kehidupan masyarakat secara umum pun tidak menunjukkan kebajikan dan keteraturan.
Pelanggaran lalu lintas merupakan hal yang biasa. Budaya antre dan sopan-santun dianggap angin lalu. Kepedulian masyarakat terhadap kebersihan dan lingkungan, rendah. Banyak orang masih membuang sampah sembarangan, sementara fasilitas umum kotor dan bau. Di lain pihak, kasus-kasus perusakan lingkungan dan kriminalitas jalanan selalu menghiasi media massa setiap hari.

Itulah mengapa penulis hendak memaparkan fakta pendidikan dijepang sebagai bahan sharing dan renungan bagi praktisi pendidikan di indonesia melalui artikel dibawah ini
Dari pengalaman ketika berkunjung ke Jepang dan mencermati secara seksama sekolah dasar di negeri Sakura ini, terlihat pembiasaan sikap disiplin dan tingkah laku bermoral telah ditanamkan sejak siswa mulai masuk sekolah. Meski tak dibekali pelajaran agama, tatanan kehidupan masyarakat Jepang nyatanya lebih mapan, tertib, bermoral.

Begitu anak didik memasuki lingkungan sekolah, mereka harus rela dan sabar melepas sepatu untuk ditukar dengan sandal/sepatu khusus yang sudah disediakan di loker-loker. Ketika siswa hendak ke toilet, sandal/sepatu yang dikenakannya pun masih harus ditukar lagi dengan sandal khusus toilet yang terparkir rapi di depan pintu toilet. Ingat, usai memakainya, siswa harus mengembalikannya ke posisi semula untuk memudahkan rekan lain yang akan menggunakan selanjutnya. Meski kelihatannya sepele, namun pembiasaan-pembiasaan ini dapat menumbuhkan kesadaran pada siswa untuk bersikap sabar, bertanggung jawab, menghargai orang lain, hidup bersih dan selalu menjaga kesehatan tubuh.

Di dalam kelas sendiri, anak-anak Jepang sudah dibiasakan melayani teman-teman sekelasnya dengan menyajikan makanan secara bergiliran. Pembiasaan ini untuk menanamkan kesadaran anak-anak agar tertib, disiplin, menghargai budaya antre, rajin, penuh kebersamaan dan peduli sesama.
Di kelas-kelas sekolah Jepang banyak dipajang hasil karya siswa, baik di dinding maupun di atas rak-rak tempat tas siswa. Coraknya beraneka ragam, mulai dari karya dari barang-barang bekas dengan disain robot, mobil, dan bangunan tinggi hingga bentuk-bentuk karya lainnya yang lebih rumit.

Pembiasaan memamerkan hasil cipta karya siswa, merupakan momentum bagi siswa untuk meraih cita-cita. Lewat karya-karya tersebut, anak-anak Jepang kelak diharapkan bisa menjadi perakit mobil, robot, arsitek gedung-gedung bertingkat dan pencipta alat-alat canggih lainnya hingga menjadi kebanggaan bagi bangsanya.
Memang, kemampuan untuk berkreasi mendapat porsi besar dalam sistem pendidikan di Jepang. Sejak dini kemampuan dan kreativitas siswa digali sebesar-besarnya demi disiapkan sebagai tenaga terampil penuh kreativitas di bidang masing-masing di masa depan.

Falsafah Jepang mengatakan, “Anak-anak adalah harta karun negara”. Nasib bangsa masa depan diyakini ada di pundak anak-anak mereka. Maka, negara selalu memperlakukan istimewa anak-anak Jepang, baik dibidang pendidikan, kesehatan, gizi, maupun perkembangan emosionalnya. Sistem pendidikan nasional Jepang pun lebih diarahkan demi kemajuan anak-anak bangsa ke depan.

Sumber : warna dunia.com