Rabu, 29 April 2009

Industri Pendidikan Tinggi

Pengesahan Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan memicu kontroversi di sebagian masyarakat akademia.

Mereka menolak dengan argumentasi logis-rasional, merujuk pada pengalaman PT BHMN (UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI). Para mahasiswa berdemonstrasi menentang Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) karena dianggap melegitimasi praktik komersialisasi pendidikan tinggi.

Industri pendidikan

Biaya pendidikan tinggi yang selama ini sudah amat mahal dikhawatirkan bertambah mahal karena pengelola perguruan tinggi—karena didorong motif ekonomi dan mengikuti hukum pasar—akan menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang komersial, sama seperti barang dagangan lain dalam suatu transaksi perniagaan.

Lazimnya transaksi perniagaan, pertimbangan untung-rugi merupakan faktor penentu dalam pengelolaan perguruan tinggi. Jika pendidikan tinggi sudah menjadi barang komersial berharga mahal, sudah pasti hanya masyarakat kaya yang mampu menjangkaunya. Masyarakat miskin akan kian sulit mendapat akses ke layanan pendidikan tinggi karena keterbatasan kemampuan finansial.

Maka, hak dasar setiap warga negara untuk mendapat pendidikan bermutu sampai ke tertiary education menjadi kian sulit dipenuhi, terlebih karena sejauh ini kemampuan pemerintah dalam melindungi kelompok miskin melalui aneka instrumen kebijakan masih belum memadai.

Padahal, tiga isu besar yang bersifat eternal—affordability, accessibility, accountability—justru merupakan persoalan utama yang harus mendapat perhatian khusus dan harus ditangani serius oleh para perumus kebijakan dan pengelola perguruan tinggi (lihat Donald Heller, The States and Public Higher Education Policy, 2003).

Kehadiran UU BHP sejatinya hanya penegasan belaka atas kenyataan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah berkembang menjadi industri. Di negara-negara maju, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan tinggi memang merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan.

Di negara-negara itu, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat seperti industri jasa dan perdagangan yang lain. Lihat sentra- sentra industri pendidikan tinggi dunia yang sungguh memikat, seperti Boston, New York, California; Toronto, British Columbia; London, Manchester, Cambridge; atau Sydney, Melbourne, Canberra. Perkembangan industri pendidikan tinggi menuju komersialisasi pun tak terbendung, ditandai proses kapitalisasi ilmu pengetahuan terutama ketika pertumbuhan ekonomi digerakkan iptek—knowledge-and technology-driven economic growth.

Tiga motif

Komersialisasi pendidikan tinggi umumnya didorong tiga motif utama.

Pertama, hasrat mencari uang dan dukungan finansial serta keinginan menggali sumber-sumber pembiayaan alternatif, yang ditempuh melalui apa yang di kalangan universitas Amerika/ Eropa disebut an offer of generous research funding in exchange for exclusive patent licensing rights.

Kedua, peluang mengembangkan (baca: menjual) program pendidikan jarak jauh untuk memperoleh keuntungan finansial sebagaimana yang sudah lazim dilakukan di perguruan tinggi di Indonesia.

Ketiga, mendapatkan aneka kontrak yang menguntungkan dengan perusahaan/industri melalui pemberian dana, fasilitas, peralatan, bahkan seragam olahraga sebagai imbalan mendapatkan atlet-atlet bertalenta, yang mensyaratkan mereka mengenakan logo perusahaan pemasok dana bagi perguruan tinggi.

Bahaya

Namun, industri pendidikan tinggi yang mengarah ke komersialisasi ini mengandung bahaya bagi perguruan tinggi bersangkutan. Derek Bok dalam Universities in the Marketplace: The Commercialization of Higher Education (2005) mencatat sejumlah bahaya yang patut diwaspadai.

Pertama, bila godaan mencari keuntungan finansial melalui aneka kontrak dari perusahaan/ industri tak terkendali dan tak dikelola dengan baik, hal itu akan menggiring perguruan tinggi melupakan misi suci (sacred mission) yang harus diemban, yakni melahirkan insan-insan terdidik dan berkeahlian, yang menjadi basis bagi ikhtiar membangun masyarakat beradab dan pilar utama upaya pencapaian kemajuan bangsa.

Kedua, bila sekadar terobsesi oleh motif ekonomi semata, perguruan tinggi akan cenderung mengabaikan fungsi utama sebagai lembaga produsen ilmu pengetahuan, pelopor inovasi teknologi, serta pusat eksperimentasi dan observatorium bagi penemuan-penemuan baru. Padahal, peran hakiki perguruan tinggi adalah the center of knowledge inquiries and technology innovations, yang bukan saja penting untuk memperkuat institusi perguruan tinggi sendiri sebagai pusat keunggulan dan penelitian, tetapi juga akan memberi kontribusi pada ikhtiar membangun peradaban umat manusia.

Ketiga, konflik kepentingan antara dua hal—menggali sumber pembiayaan dan mengembangkan iptek melalui riset ilmiah— berpotensi mengorbankan core academic values karena perguruan tinggi cenderung berkompromi antara pilihan menjaga standar mutu program akademik dan tuntutan mendapatkan dukungan finansial dari perusahaan/industri.

Merujuk pada sejumlah kekhawatiran itu, kehadiran UU BHP bisa menjadi pedang bermata dua.

Pertama, memberi landasan hukum bagi universitas/institut untuk secara kreatif mencari alternatif sumber pembiayaan bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi dan meningkatkan efisiensi/efektivitas manajemen perguruan tinggi guna meningkatkan kualitas program akademik.

Kedua, dapat memicu komersialisasi melalui aneka kontrak bermotif ekonomi dengan perusahaan/industri yang berpotensi menggerus fungsi esensial perguruan tinggi sebagai Maison des sciences de l’homme.

Untuk itu, kewaspadaan dan kehati-hatian dari semua stakeholder sangat diperlukan dalam melaksanakan UU BHP agar tidak memunculkan ekses negatif yang justru kontraproduktif bagi upaya memajukan perguruan tinggi di Indonesia.

Amich Alhumami Penekun Kajian Pendidikan; Berafiliasi dengan Direktorat Agama dan Pendidikan, Bappenas.

Sumber :Harian Kompas - Rabu, 14 Januari 2009 | 00:25 WIB

Sabtu, 18 April 2009

Pendekatan out door learning

Aktivitas pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus bukan merupakan hal yang aneh untuk dikuasai guru PLB. Mengingat mereka mengemban tugas sebagi guru yang harus mampu mengembangkan potensi anak berkebutuhan khusus sesuai karakteristik dan tahapan perkembangan anak.

Guru PLB, khususnya guru untuk anak tunagrahita seharusnya mampu menciptakan suasana belajar yang tidak menuntut anak untuk berpikir, sehingga sering menimbulkan kebosanan dan kejenuhan belajar. Anak tunagrahita umumnya belajar di ruang kelas dengan pintu tertutup, dimana keadaan ini memberi kesan menakutkan. Anak tunagrahita
juga dituntut untuk duduk manis mendengarkan cara ajar guru, dipaksa untuk diam, dan
menuruti kemauan guru. Gambaran seperti ini sering ditemukan, dimana tidak terlihat
suasana pembelajaran yang menyenangkan dan memberi anggapan bahwa aktivitas
pembelajaran hanya dapat terjadi di dalam kelas. Gurupun beranggapan, bahwa di dalam
kelaslah guru dapat memberikan materi pelajaran dan tujuan pembelajaran akan lebih
mudah dicapai.

Tuntutan terhadap siswa untuk selalu duduk, dengar, dan catat sudah menjadi budaya
umum di sekolah. Sehingga sangat dikhawatirkan anak tunagrahita memiliki persepsi,
bahwa ILMU HANYA DIDAPAT DI DALAM KELAS. Sikap anak tunagrahita di luar kelas tidak
dianggap sebagai proses pembelajaran. Keadaan ini akan sangat berpengaruh pada
perkembangan aspek fisik, intelektual, emosi dan sosial anak. Hal ini juga dapat
mempengaruhi penyesuaian diri anak tunagrahita dengan lingkungannya, penyesuaian
diri anak tunagrahita dengan tuntutan-tuntutan di luar dan di dalam dirinya, dan
pembentukan pribadi.

Pembelajaran untuk anak tunagrahita harus menarik dan menyenangkan. Hal ini
dimaksudkan untuk menggelitik siswa dan memotivasi pembelajaran. Pembelajaran yang
menyenangkan berarti pembelajaran yang cocok dengan suasana yang terjadi dalam diri
siswa. Bisa para guru perhatikan, jika siswa tidak senang, siswa tidak akan
menunjukkan keperhatian atau ketertarikannya pada pembelajaran. Ujungnya, siswa akan
bersikap pasif, jenuh, dan masa bodoh. Ekspresi berikutnya yang akan tampak, pada
saat bel pulang berdering. Mereka akan bersorak-sorai kegembiraan, seolah baru
keluar dari kungkungan waktu dan kelas yang melelahkan dan menjemukan. Ibarat sebuah
penjara …, mereka akan berebutan untuk cepat pulang dan meluapkan kegembiraan
setelah berada di luar kelas.
Proses pembelajaran untuk anak tunagrahita harus benar-benar menyenangkan, sehingga
anak tunagrahita betah untuk belajar. Suasana pembelajaran diciptakan agar tidak ada
penekanan psikologis bagi kedua belah pihak, guru dan siswa. Pendekatan Out-door
learning merupakan salah satu upaya untuk terciptanya tujuan pembelajaran, terhindar
dari kejenuhan, kebosanan, dan persepsi belajar hanya di dalam kelas. Pendekatan
Out-door learning menurut Agus Irawan Sensus dalam Ginting (2005) adalah sebuah
pendekatan pembelajaran yang menggunakan suasana di luar kelas sebagai situasi
pembelajaran serta menggunakan berbagai permainan sebagai media transformasi
konsep-konsep yang disampaikan dalam pembelajaran.

Pendekatan Out-door learning menggunakan beberapa metode seperti ceramah, penugasan,
tanya jawab, dan belajar sambil melakukan atau mempraktekkan kenyataan dengan
situasi bermain. Out-door learning juga menerapkan pembelajaran di luar kelas dengan
media games dan bernyanyi yang sesuai dengan usia perkembangan anak tunagrahita dan
materi yang akan disampaikan.

Guru harus mampu memunculkan kegembiraan dan keinginan siswa untuk bereksplorasi
terhadap lingkungannya, tanpa aktivitas pemaksaan. Untuk mencapai proses ini, guru
harus memiliki gaya belajar yang menantang siswa dan menarik. Sehingga pengelolaan
pembelajaran benar-benar menarik, menyenangkan, dan bermanfaat bagi siswa.
Pendekatan Out-door learning juga menggunakan setting alam terbuka sebagai sarana
kelas, untuk memberikan dukungan proses pembelajaran secara menyeluruh yang dapat
menambah aspek kegembiraan dan kesenangan.

Anak tunagrahita umumnya memiliki masalah-masalah atau kesulitan dalam interaksi
kelompok maupun individu di lingkungan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan
kehidupan sosialnya cenderung terisolasi dari lingkungan masyarakat, bahkan keluarga
akibat ketidak mampuan dalam penyesuaian dirinya. Pendekatan Out-door learning
mengasah aktivitas fisik dan sosial anak tunagrahita. Di mana anak akan lebih banyak
melakukan kegiatan-kegiatan yang secara tidak langsung melibatkan kerja sama antar
teman dan kemampuan berkreasi. Aktivitas ini akan memunculkan proses komunikasi,
pemecahan masalah, kreativitas, pengambilan keputusan, saling memahami, dan
menghargai perbedaan.

Berikut ini adalah beberapa konsep dasar yang melandasi pendekatan Out-door
learning, yaitu:
1. Pendidikan selama ini tidak menempatkan anak sebagai subyek.
2. Setiap anak berkebutuhan khusus adalah unik. Mereka mempunyai kelebihan dan
kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, proses penyeragaman dan penyamarataan akan
membunuh keunikan tersebut. Keunikan yang dimiliki anak berkebutuhan khusus harus
mendapat tempat dan dicarikan peluang agar dapat lebih berkembang.
3. Dunia anak adalah dunia bermain, tetapi pelajaran banyak yang tidak disampaikan
lewat permainan.
4. Usia anak merupakan usia yang paling kreatif dalam hidup manusia, namun dunia
pendidikan tidak memberikan kesempatan bagi pengembangan kreativitas.
5. Anak berkebutuhan khusus mempunyai potensi yang akan muncul dan sangat bergantung
bagaimana cara memperlakukan potensi mereka.

Elemen-elemen penting yang perlu diperhatikan dalam pendekatan Out-door learning,
yaitu:
1. Alam terbuka sebagai sarana kelas. Penggunaan setting alam terbuka sebagai sarana
kelas memberikan dukungan terhadap proses pembelajaran secara menyeluruh dan
sekaligus membebaskan anak berkebutuhan khusus dari himpitan suasana empat dinding
dan ritme belajar yang biasa mereka alami.
2. Berkunjung ke obyek langsung. Obyek langsung merupakan sumber belajar bagi anak
berkebutuhan khusus. Siswa diharapkan berada langsung pada dunia nyata, bukan
sekedar cerita dari guru. Ini mendorong intensitas keterlibatan siswa baik secara
fisik, mental, dan emosional.
3. Unsur bermain sebagai dasar pendekatan. Kelas alam terbuka dan mengunjungi obyek
langsung, merupakan tempat yang ideal. Khususnya dalam melakukan proses pembelajaran
berdasarkan pengalaman (experiental learning). Kombinasi aspek lingkungan dan
berbagai permainan memberikan kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus untuk
mengubah berbagai pola tingkah laku dan kebiasaan sehari-hari melalui proses yang
menyenangkan dan penuh kegembiraan.
4. Guru harus mempunyai komitmen. Berani berkomitmen untuk mengubah paradigma selama
ini keparadigma baru yang dibutuhkan masyarakat. Di mana guru tidak saja
mengembangkan dan mengasah kecerdasan intelektual anak berkebutuhan khusus, tetapi
memadukan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual, dan
kecerdasan lainnya dalam proses pembelajaran.

Berbagai upaya dan motivasi dalam pembelajaran harus terus dilakukan agar memudahkan
anak berkebutuhan khusus berkembang seoptimal mungkin, sebab mereka pasti akan hidup
kembali pada masyarakat. Diperlukan berbagai kiat yang bisa digunakan dalam
melaksanakan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan yang
berorientasi pada siswa dan berangkat pada siswa.

Sumber :Dini Suardini dan Irine Puspita
Guru SLB Negeri Subang
Jalan Trubus (Blkng Kel. Karang Anyar) – Kab. Subang

sudah saatnya di buka sekolah khusus atlet

PENERIMAAN siswa baru (PSB) di tingkat pendidikan menengah (SLTP dan SLTA), khususnya sekolah-sekolah negeri, masih menyisakan setumpuk persoalan. Tidak hanya bagi masyarakat luas, terutama para orang tua siswa, pemerhati pendidikan, kalangan lembaga swadaya masyarakat dan anggota legistatif, tetapi juga bagi insan pendidikan itu sendiri seperti para kepala sekolah dan guru-guru.

Idealnya, PSB mengacu pada kemampuan akademik siswa, yakni berdasarkan akumulasi nilai ujian akhir sekolah jenjang sebelumnya. Untuk tingkat SLTP diambil dari nilai ujian akhir di SD, lantas untuk SLTA dari SLTP. Akan tetapi, mengingat banyaknya siswa pendaftar tidak sebanding dengan daya tampung di suatu sekolah maka dibuatlah passing grade.

Sebagai contoh, sekolah x berdaya tampung 400 siswa baru, siswa pendaftar 800 orang, yang akan diterima adalah pendaftar dengan nilai tertinggi (dijadikan urutan pertama) sampai dengan terrendah (urutan ke-400). Urutan ke-400 umpamanya, jumlah nilai ujian akhirnya 29,19, maka nilai inilah yang dijadikan passing grade sekolah x; sehingga urutan ke-401 s.d. 800 tidak akan diterima lantaran nilainya niscaya di bawah passing grade.

Nilai passing grade tersebut secara on-line dapat diakses khalayak ramai melalui internet. Dengan demikian orang tua siswa selekasnya dapat mengetahui posisi anaknya, apakah diterima atau tidak di sekolah pilihannya. Bagi yang diterima, segera menyiapkan kelengkapan administrasi serta dana/biaya untuk mendaftarkan diri ke sekolah itu. Bagi yang tidak diterima, harus secepatnya mencari sekolah lain yang dapat menerima anaknya untuk bersekolah di situ.

Segala sesuatunya kelihatannya berjalan linier, transparan, dan fair. Tapi, kondisi riilnya tidaklah serupa dengan yang tampak di permukaan. Betapa tidak, ternyata banyak pula siswa baru yang diterima di suatu sekolah meskipun nilainya di bawah passing grade yang telah ditentukan dan tidak terupdate di internet, alhasil tidak dapat diakses publik.

Secara legalitas, mereka dipayungi Dinas Pendidikan lewat jalur nonakademis, yakni diperuntukkan buat siswa yang pernah menjadi juara di suatu event olah raga atau seni di tingkat daerah (propinsi/kabupaten/kota), nasional, hingga internasional. Hal ini harus dibuktikan dengan adanya piala, sertifikat, atau surat keterangan dari pihak panitia penyelenggara kejuaraan. Lain daripada itu, pihak sekolah pun menerima siswa yang berasal dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomis, biasanya dikhususkan bagi masyarakat yang berada di sekitar sekolah tersebut.

Dalam tulisan ini, jalur PSB via seni maupun yang berasal dari keluarga tidak mampu tidak akan dibahas. Di sini hanya akan dielaborasi PSB melalui jalur atlet, karena melalui jalur ini ternyata banyak menimbulkan tanda tanya besar bagi pelbagai pihak terkait (stakeholder).

Pertanyaan pokoknya adalah, apakah para siswa yang direkomendasikan oleh Dinas Pendidikan itu benar-benar "atlet juara" di berbagai kejuaraan kabupaten/kota/propinsi/nasional/internasional? Sebab, tatkala keran PSB jalur atlet dibuka, banyak sekolah terutama sekolah-sekolah "favorit" kebanjiran para calon siswa yang mengaku "atlet juara" ini dan itu. Tidak jarang pihak sekolah difait accompli, karena mereka sudah dinyatakan "lolos seleksi" oleh Dinas Pendidikan; sehingga mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus diterima di sekolah itu. Malahan terdapat sejumlah sekolah negeri "bukan favorit" mengalami eksodus siswa baru (yang diterima lewat jalur akademis/passing grade) dan untuk selanjutnya mereka memasuki sekolah-sekolah "favorit" melalui jalur nonakademis/nonpassing grade atas restu Dinas Pendidikan.

Pola PSB melalui jalur nonakademis seyogyanya dihapuskan saja. Di samping tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, juga rawan terhadap atau berkecenderungan menimbulkan adanya penyimpangan dalam implementasinya, semisal adanya pemberian sertifikat "atlet juara" dan sejenisnya. (Terhadap perkeliruan semacam ini sesungguhnya dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, berdasarkan pasal 242 KUHP)

Guna mengakomodasi para atlet yang bersekolah, sudah saatnya dibuka sekolah khusus atlet, sehingga tidak akan merecoki sekolah-sekolah umum dengan dalih jalur nonakademis-"atlet juara" sebagaimana dipaparkan di muka. Di sini, selain akan digembleng sebagaimana atlet olahraga umumnya, mereka juga akan belajar berbagai mata pelajaran laiknya sekolah umum, artinya kurikulum sekolah tetap mengacu pada kurikulum yang berlaku. Perbedaan antara sekolah khusus atlet dan sekolah umum terletak pada proses pembelajarannya, yaitu interaksi antara guru dan siswa tidak melulu melalui tatap muka/pertemuan kelas (vis a vis interaction/classroom meeting). Bagi siswa yang tidak sempat belajar di kelas karena harus ikut bertanding di suatu event olahraga dalam kurun waktu tertentu, misalnya, dapat diberikan semacam modul atau tugas-tugas belajar mandiri lainnya, sehingga proses pembelajarannya masih tetap berlangsung. Begitu pun dalam hal evaluasi pembelajaran atau ujian, tidak perlu massive, tetapi disesuaikan dengan jadwal pertandingan yang diikuti oleh siswa-atlet yang bersangkutan. Jika lulus ujian akhir sekolah, mereka pun berhak memperoleh ijazah sesuai dengan jenjang pendidikannya (SLTP/SLTA).

Mudah-mudahan dengan adanya sekolah khusus atlet ini akan diperoleh atlet-atlet handal sekaligus yang berwawasan akademis memadai, pada gilirannya menjadikan aset atau investasi berharga untuk kejayaan olah raga Indonesia umumnya dan daerah (propinsi/kabupaten/kota) khususnya di masa depan.

Boleh jadi inilah salah satu alternatif solusi terbaik secara profesional dan proporsional untuk mengurai benang kusut PSB selama ini, khususnya demi mengantisipasi banyaknya siswa-atlet yang ingin tetap berkiprah di dunia olahraga sembari bersekolah.

Sumber :Pendidikan network.com

Ada Penilaian Khusus untuk SMK

TANJUNG,- Jika Ujian Nasional (UN) untuk SMA dan MA telah diketahui jadwal dan nilai rata-rata mesti diperoleh siswa bagi seluruh mata pelajaran yang diujikan, bagaimana dengan UN SMA LB dan SMK?

Ternyata tak jauh berbeda antara jadwal UN SMA/MA dengan SMA LB dan SMK, juga nilai rata-rata yang dibutuhkan siswa SMA LB. Hanya ada standar penilaian khusus dibebankan pada SMK.

UN SMA LB diselenggarakan selama tiga hari, sejak Senin (20/4) hingga Rabu (22/4). Rinciannya, Senin (20/4) pukul 08.00-10.00 Wita diadakan ujian mata pelajaran Bahasa Indonesia. Susulan Senin (27/4). Hari kedua yaitu Selasa (21/4), pukul 08.00-10.00 Wita adalah pelajaran Bahasa Inggeris, susulannya Selasa (28/4). UN SMA LB dihari ketiga ialah Rabu (22/4) dilangsungkan pukul 08.00-10.00 Wita, mengujikan pelajaran matematika.

Standar kelulusan SMA LB sama dengan standar SMA dan MA, minimal 5,50 pada seluruh mata pelajaran dan 4,00 pada dua mata pelajaran, serta 4,25 pada pelajaran lainnya.

UN SMK dilaksanakan selama tiga hari, Senin (20/4) sekira pukul 08.00-10.00 Wita adalah pelajaran Bahasa Indonesia, Selasa (21/4) diujikan Bahasa Inggeris dan terakhir Rabu (22/4), pelajaran matematika.
Khusus bagi peserta UN SMK yang dinyatakan lulus, persyaratannya, nilai mata pelajaran kompetensi keahlian kejuruan minimal 7,00 dan digunakan menghitung rata-rata UN.

Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Tabalong.com

Lembaga Pendidikan Akan Dikenai Pajak

Jakarta, Kompas - Sebagai konsekuensi dari disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, lembaga penyelenggara pendidikan menjadi subyek pajak. Karena itu, lembaga penyelenggara pendidikan yang kelak akan berubah nama menjadi badan hukum pendidikan akan dikenai pajak.

”Saya belum cek ke Dirjen Pajak, tapi katanya bakal ada keringanan pajak untuk penyelenggara pendidikan,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo di hadapan pimpinan redaksi media cetak dan elektronik di Jakarta, Jumat (16/1) siang. Belum dipastikan jenis pajak yang akan dikenakan kepada badan hukum pendidikan (BHP).

Khusus untuk perguruan tinggi negeri (PTN) yang umumnya memiliki areal tanah yang luas, menurut Mendiknas, status tanahnya milik negara yang ditangani Departemen Keuangan. Pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk PTN akan ditangani khusus Departemen Keuangan.

Mendiknas mengatakan, UU BHP, yang pada 17 Desember 2008 disetujui DPR untuk disahkan oleh pemerintah, berprinsip pada pengelolaan dana secara mandiri, nirlaba, otonomi, akuntabilitas, dan transparan-si untuk meningkatkan pelayanan pendidikan kepada masyarakat.

Mendiknas juga membantah jika dikatakan UU BHP identik dengan komersialisasi. ”BHP berprinsip nirlaba. Jika ada sisa hasil usaha, harus ditanamkan kembali untuk penyelenggaraan pendidikan,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Mendiknas, diberikan jaminan 20 persen kursi untuk peserta didik yang miskin secara ekonomi, tetapi berprestasi. Pemerintah dan badan hukum pendidikan pemerintah (BHPP) pun berkewajiban memenuhi 2/3 biaya operasionalnya, sedangkan 1/3 ditanggung mahasiswa. ”Apa yang dimaksud biaya operasional akan dirumuskan dengan Ikatan Akuntan Indonesia,” ujarnya.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Fasli Jalal mengatakan, dalam UU BHP memang tak diatur soal lembaga pendidikan asing. Meski demikian, pemerintah menggariskan, lembaga pendidikan asing harus memenuhi tiga prinsip, yakni nirlaba, hanya membuka bidang keahlian setara politeknik bidang elektronika dan otomotif, serta hanya boleh dibuka di lima kota, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Yogyakarta.

”Setelah mengetahui tiga syarat yang ditetapkan, peminat asing yang semula akan membuka pendidikan di Indonesia, mundur,” kata Fasli.

Sumber :Kompas
Sabtu, 17 Januari 2009 | 01:24 WIB

Program Layanan Masyarakat Pemberantasan Buta Aksara UGM Luluskan 9882 Aksarawan Baru

Salah satu isu utama ketika memasuki era millenium ketiga adalah persoalan keaksaraan (literacy). Karenanya di tahun 2006 lalu, UNESCO telah menetapkan bahwa keaksaraan menjadi salah satu kegiatan utama dari program "Pendidikan untuk Semua" atau Education for All (EfA).

Bagi UNESCO, kemampuan membaca, menulis dan berhitung merupakan faktor penting dan kondusif guna mendukung keberhasilan program lain. Dengan membaca, menulis dan berhitung, masyarakat secara bersama akan mampu melaksanakan program pengentasan kemiskinan, pengurangan angka kematian bayi, pengendalian jumlah penduduk, pencapaian kesetaraan jender, pembangunan berkelanjutan, penciptaan perdamaian dan pembangunan demokrasi.

Demikian dikatakan Wiwien Widyawati Rahayu pada penutupan Program Layanan Masyarakat Pemberantasan Buta Aksara UGM. Selaku Koordinator Pelaksana program ini, dirinya mengatakan sebagai research university dan PT bervisi kerakyatan, UGM terpanggil untuk berperan aktif dalam isu global ini.

"Inilah peran itu, yaitu agenda Pemberantasan Buta Aksara yang dilakukan Program Layanan Masyarakat Pemberantasan Buta Aksara (PLM PBA), yang merupakan pengembangan dari KKN PPM PBA yang telah dilakukan UGM selama ini," ujar Wiwien, Kamis (22/1) di Pendopo Bupati Gunungkidul, Wonosari Yogyakarta saat acara penutupan.

Dari program ini, katanya, berhasil diluluskan 9882 Aksarawan Baru dengan tingkat kelulusan SUKMA I mencapai 92,47% dari 10.687 peserta ujian. Dengan demikian sejak tahun 2006, jumlah warga belajar yang berhasil dimelek-aksara-kan melalui KKN PPM PBA maupun PLM PBA mencapai 27.882 orang.

Ditambahkannya, PLM PBA UGM yang dilaksanakan sejak 1 November 2008 hingga 22 Januari 2009, melibatkan 9 orang Dosen Pembimbing Tutor (DPT), 134 orang Mahasiswa Tutor (Mator) dan 1000 orang Tutor Lokal (Turlok) serta 11.129 Warga Belajar (WB) yang tersebar di dua Propinsi, DIY dan Jateng di empat Kabupaten, Kabupaten Bantul, Gunungkidul, Wonosobo dan Purbalingga serta di 15 Kecamatan. Adapun beberapa kegiatan pendukung yang telah dilakukan antara lain pembekalan kepada DPT dan Mator serta Bimbingan Teknis (Bintek) untuk Turlok yang dilaksanakan secara bertahap di Kabupaten Gunungkidul tanggal 8 November 2008 wilayah Kecamatan wonosari, Playen, Tepus, Ngawen, Gedangsari, Tanjungsari dan di Kabupaten Bantul yang berlangsung di Pendopo SKB Dinas Pendidikan Kabupaten Gunungkidul.

"Untuk Kecamatan Semin dan Girisubo telah dilaksanakan pada tanggal 9 November 2008 lalu. Sementara untuk pembekalan Tutor Lokal di Purbalingga di Kecamatan Kutasari dan Mrebet dilakukan tanggal 15 November 2008 bersamaan pembekalan di Wonosobo di Kecamatan Sapuran dan kalijajar. Kegiatan lainnya yang juga dilakukan adalah pembagian paket ajar untuk warga belajar dan turlok," tambah dosen FIB UGM dalam laporannya.

Dr Wisnu Nurcahyo selaku Sekretaris LPPM UGM memberikan apresiasi tinggi terhadap program ini, bahwa kegiatan ini menjadi parameter penting dalam HDI (Human Development Indeks) sebuah negara yang meliputi indeks bidang kesehatan, ekonomi dan pendidikan. Sementara dalam indeks pendidikan, jelasnya, memperlihatkan dua tolok ukur, yaitu angka melek aksara orang dewasa dan angka lamanya waktu dalam mengenyam pendidikan.

"Terkait dengan angka melek aksara (literacy) yang menjadi salah satu komponen penentu dalam indeks pengembangan manusia, maka program pemberantasan buta aksara ini adalah sebuah keniscayaan dan mestinya menjadi kepedulian dan keseriusan banyak pihak secara bersama," jelas Wisnu.

Wisnu meyakini melalui penurunan angka buta aksara akan membawa dampak positif bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat pun pada akhirnya diharapkan mampu menggali dan meningkatkan potensi diri di wilayah masing-masing.

"Sesuai UUD 1945, bahwa setiap warga negara berhak atas pendidikan. Pasal 5 ayat 3 disebutkan, warga di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. Oleh karena itu, Pemberantasan Buta Aksara dilaksanakan dalam rangka upaya untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat," terangnya.

Program Layanan Masyarakat (PLM) Pemberantasan Buta Aksara UGM ditutup secara resmi oleh Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan non Formal dan Informal Regional DIY dan Jawa Tengah, Dr H Ade Kusnadi MPd. Dengan ditutupnya kegiatan ini, Ade Kusnadi berharap muncul program lain sejenis yang mendukung.

"Karena kalau orang dewasa belajar baca tulis tanpa disertai layanan informasi dan bahan bacaan atau kegiatan yang ada kaitannya dengan membaca maka yang sudah didapat ini bisa lupa lagi. Sehingga bisa buta huruf lagi, repot lagi," katanya.

Dengan percepatan program PBA, katanya, wajah DIY yang notabene sebagai kota pendidikan akan segera terwujud dan terbebas dari angka buta huruf. Bahkan di Kabupaten Gunungkidul terbukti melebihi dari yang ditargetkan.

"Hal ini tentu saja karena peran UGM yang turun dengan sasaran sangat banyak, 50 ribu lebih," tandasnya, yang sekaligus berharap kerjasama terus berjalan di masa-masa mendatang.

Tampak Hadir penutupan program ini Wakil Bupati Hj Badingah SSos dan jajaran Muspida Gunungkidul, para dosen pendamping tutor, mahasiswa tutor, para tutor lokal dan para warga belajar.

Sumber :webugm@ugm.ac.id

Pandangan Awam mengenai Anak Berkebutuhan Khusus

Tidak ada satu anak manusia yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sama antara yang satu dengan lainnya. Tidak ada satu anak manusia yang tidak memiliki kekurangan. Tidak ada satu anak manusia yang ingin dilahirkan ke dunia ini dengan menyandang kelainan atau memiliki kecacatan. Demikian juga tidak akan ada seorang ibu yang menghendaki kelahiran anaknya menyandang kecacatan. Oleh sebab itu, sejak kelahirannya ke dunia, anak cacat atau dikenal dengan anak berkebutuhan khusus (ABK) sudah tidak dikehendaki oleh kedua orang tuanya. Konsekuensi logis bila ABK akan menghadapi banyak tantangan dari lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan pendidikan.

Kelahiran seorang ABK tidak mengenal apakah mereka dari keluarga kaya, keluarga berpendidikan, keluarga miskin, keluarga yang taat beragama atau tidak. Bila Tuhan menghendaki keluarga itu dititipi seorang ABK maka kemungkinan semua itu bisa terjadi. Akan tetapi Tuhan melihat dan menghargai manusia tidak dari kecacatannya secara fisik, mental atau sosial. Tuhan melihat manusia dari ketakwaan kepada-Nya.

Dititipkannya ABK pada satu keluarga bukan berarti keluarga tersebut mendapat kutukan, tetapi dititipkannya ABK pada satu keluarga karena Tuhan menguji atau memberi kesempatan pada keluarga tersebut untuk berbuat yang terbaik pada anaknya. Sebagai manusia, ABK memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang di tengah-tengah keluarga, masyarakat, dan bangsa. ABK memilki hak untuk sekolah sama seperti saudara lainnya yang tidak memiliki kelainan atau normal.

Tidak ada satu alasan bagi Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar (SD) umum dimanapun adanya, melarang ABK untuk masuk ke sekolah tersebut. Bersama Guru Pembimbing Khusus yang telah memiliki pengetahuan dan keterampilan PLB, sekolah dapat merancang pelayanan PLB bagi anak tersebut yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan anak. Apakah anak tersebut membutuhkan kelas khusus, program khusus dan/atau layanan khusus tergantung dari tingkat kemampuan dan kondisi kecacatan anak.

Semakin dini ABK diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan anak seusianya, semakin kuat mental ABK menghadapi tantangan yang ada di lingkungan tempatnya berada. Ia juga akan jauh lebih berkembang bila dibandingkan dengan mereka yang diasingkan dan tidak disekolahkan. Semakin dini mendapatkan layanan pendidikan, semakin baik hasil yang diperoleh. Sesuai dengan pengalaman, keuntungan PLB di lingkungan sekolah biasa ini tidak hanya diperoleh ABK saja melainkan akan dialami oleh anak-anak normal lainnya.

Banyak orang awam berpandangan yang salah tentang pendidikan bagi ABK. Seolah-olah PLB hanya ada di SLB. Kencenderungan orang-orang yang pengetahuan mengenai ABKnya masih kurang bila menemukan anak yang menyandang kelainan atau ABK, mereka langsung menyuruh untuk masuk ke Sekolah Luar Biasa (SLB). Hal ini tidaklah benar, sebab SLB bukan habitatnya. Habitat ABK sama dengan habitat anak pada umumnya yang normal. Ia berada di lingkungan SLB bila di Sekolah Biasa sudah tidak dapat menangani pendidikannya atau memang kehendak dan hak dari anak itu sendiri.

Pandangan lain yang salah dari sebagian besar orang umum yaitu seolah-olah PLB hanya bisa diberikan di SLB atau seolah-olah PLB itu sama dan identik dengan SLB. Hal tersebut tentu saja tidak benar, sebab pelayanan PLB bisa diberikan di sekolah biasa dengan pembelajaran yang di adaptifkan pada anak berdasarkan kelainan dan karakteristiknya oleh guru biasa. Karena itu, informasi tentang Pembelajaran adaptif bagi ABK perlu juga bagi Guru biasa, sehingga bila ABK datang ke sekolah biasa dapat diberikan pelayanan PLB.

Sumber : Fitri Nurjana

Demi Kualitas, Standar Nilai UN Tahun Ini Dinaikan

JAKARTA, KOMPAS.com - Standar nilai kelulusan siswa peserta UN tahun ini naik menjadi 0,25 persen atau nilai rata-rata sebesar 5,50 untuk SMU dan 7,00 untuk SMK. Kenaikan ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas dan daya saing siswa. Demikian hal tersebut dikatakan siang ini (Rabu/15/4) oleh Mungin Eddy Wibowo, Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) di Gedung Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Menurut Mungin, kenaikan itu diharapkan bisa meningkatkan kualitas dan daya saing siswa secara bertahap sesuai dengan tingkat kemajuan yang dicapai melalui Standar Nasional Pendidikan (NSP. Dengan demikian, daya saing bangsa juga dapat meningkat dengan sendirinya.

Untuk dapat dikatakan lulus Ujian Nasional SMP/MTs, SMA/MA, SMK, SMPLB, serta SMALB tahun kelulusan 2008/2009 ini siswa harus mendapat nilai rata-rata sebesar 5, 50. Jumlah rata-rata tersebut mengalami peningkatan sebesar 0,25 dibandingkan tahun lalu, ujar Mungin.

Peserta UN dinyatakan lulus jika memenuhi standar nilai rata-rata minimal 5,50 untuk semua mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya, lanjut Mungin.

Khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran Kompetensi Keahlian Kejuruan minimal sebesar 7,00 dan digunakan menghitung rata-rata syarat kelulusan UN. Sedangkan untuk Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) SD/MI/SDLB, kriteria kelulusan ditetapkan oleh setiap sekolah atau madrasah yang peserta didiknya mengikuti UASBN.

Selain itu, kriteria juga ditetapkan melalui rapat dewan guru yang mencakup nilai minimum setiap mata-mata pelajaran yang diujikan dan nilai rata-rata ketiga mata pelajaran. Kelulusan UASBN akan digunakan sebagai pertimbangan penentuan kelulusan dari sekolah atau madrasah.

Terkait tingkat kesulitan soal, Mungin menjelaskan, bahwa soal-soal ujian dikembangkan secara Nasional atau oleh Pusat, sehingga tidak akan memberatkan daerah.

Sumber: Kompas.Com
Rabu, 15 April 2009 | 12:30 WIB

Satu Pengawas Awasi 10 Peserta UN

JAKARTA, KOMPAS.com - Karena masih ditengarai akan terjadi kecurangan dalam penyelenggaraan Ujian Nasional (UN), Badan Standar Nasional Pendidikan (BSTNP), akan memperketat pengawasan terhadap ujian tersebut. BSTPN akan bekerja sama dengan berbagai pihak, contohnya dengan pihak perguruan negeri dan asosiasi pendidikan. Jumlah pengawas sebanyak 55. 265 orang, dan satu pengawas akan mengawasi 10 peserta UN, terang Mungin Eddy Wibowo ketua badan Standar Nasional Pendidikan di Gedung Depdiknas, Rabu (15/4).

Selain itu, sisa soal ujian harus dikembalikan, dan akan langsung disegel pada ruangan. Sedangkan untuk menghindari kebocoran jawaban dan tindakan curang lain, daftar hadir pengawas tidak akan diedarkan pada masing-masing lokasi ujian. Takutnya bocoran jawaban akan diselipkan pada daftar hadir pengawas tersebut, kata Mungin.

Diknas juga akan melakukan sidak pada masing-masing sekolah. Jika masih ditemukan ada pihak-pihak yang melakukan kecurangan, maka pada mereka akan diberikan sanksi yang tegas. Jika peserta yang melakukan kecurangan, maka pertama dia akan diberikan peringatan, kalau masih melakukan lagi maka ia akan didiskualifikas. Kalau pengawas yang curang, maka pengawas tersebut akan dilarang untuk mengawas lagi, terang Mungin.

Ia menambahkan jika sekolah yang melakukan kecurangan, maka akan dilarang untuk menyelanggarakan UN. Sekolah juga baru akan mendapatkan soal pada hari H. Karena jika soal disimpan di sekolah, dikhawatirkan akan terjadi kebocoran. Pendistribusian soal akan diawasi oleh pihak perguruan tinggi.

Meski memperkirakan akan ada kecurangan, Mungin terus mengharapkan agar UN kali ini dilakukan dengan jujur, agar hasil yang didapat benar-benar dapat mengukur kemampuan masing-masing siswa.

Sumber: Kompas.Com
Rabu, 15 April 2009 | 11:38 WIB

Facebook Sebabkan Mahasiswa Malas dan Bodoh

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengguna Facebook yang masih sekolah berhati-hatilah! Menurut studi yang dilakukan oleh Ohio State University, semakin sering Anda menggunakan Facebook, semakin sedikit waktu Anda belajar dan semakin buruklah nilai-nilai mata pelajaran Anda.

Begitu tertulis dalam laporan studi yang mengambil sampel 219 mahasiswa Ohio State University tersebut. Namun penulis laporan mengatakan, laporannya hanya memperlihatkan kemungkinan hubungan antara penggunaan Facebook dan menurunnya nilai-nilai yang Anda peroleh di sekolah.

Faktanya, jika Anda pengguna Facebook, kemungkinan besar Anda selalu ingin mengetahui status yang dikabarkan oleh teman-teman Anda. Kenikmatan semangkuk baso, asyiknya irama jazz, foto-foto pesta teman-teman dekat Anda, dan pertanyaan-pertanyaan yang berharap mendapatkan komentar karena Anda ingin memastikan seseorang di jaringan pertemanan Anda sedang membaca tulisan Anda memang sangat menggoda hati dan juga menyita waktu Anda. Akhirnya, Anda mungkin terpicu untuk menulis hal-hal tak penting, membaca hal-hal sepele, dan juga berpikir secara tak cerdas.

Untunglah bukan itu yang dilaporkan oleh peneliti Ohio State University. Namun disebutkan bahwa 65% mahasiswa setiap hari mengakses Facebook minimal satu kali dan menghabiskan setidaknya satu jam di laman tersebut. Yang menarik, 79% dari pengguna Facebook merasa bahwa menggunakan laman tersebut tidak mempengaruhi kualitas pekerjaan mereka. Namun yang terpengaruh adalah nilai ujian.

“Ini ibarat perbedaan antara dapat nilai A dan B,” kata Aryn Karpinski, peneliti Ohio State yang menanyai 219 mahasiswa untuk penelitiannya.

Sumber: Kompas.Com
Rabu, 15 April 2009 | 10:59 WIB

Sekolah Unggulan yang Tidak Unggul

Kualitas manusia Indonesia rendah telah menjadi berita rutin. Setiap keluar laporan Human Development Index, posisi kualitas SDM kita selalu berada di bawah. Salah satu penyebab dan sekaligus kunci utama rendahnya kualitas manusia Indonesia adalah kualitas pendidikan yang rendah. Kualitas sosial-ekonomi dan kualitas gizi-kesehatan yang tinggi tidak akan dapat bertahan tanpa adanya manusia yang memiliki pendidikan berkualitas.

Negeri ini sedang berjuang keras untuk meningkatkan kualitas pendidikan, namun hasilnya belum memuaskan. Kini upaya meningkatkan kualitas pendidikan ditempuh dengan membuka sekolah-sekolah unggulan, misal Sekolah Taruna Nusantara. Sekolah unggulan dipandang sebagai salah satu alternatif yang efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan sekaligus kualitas SDM. Sekolah unggulan diharapkan melahirkan manusia-manusia unggul yang amat berguna untuk membangun negeri yang kacau balau ini. Tak dapat dipungkiri setiap orang tua menginginkan anaknya menjadi manusia unggul. Hal ini dapat dilihat dari animo masyarakat untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah-sekolah unggulan. Setiap tahun ajaran baru sekolah-sekolah unggulan dibanjiri calon siswa, karena adanya keyakinan bisa melahirkan manusia-masnusia unggul.

Benarkah sekolah-sekolah unggulan kita mampu melahirkan manusia-manusia unggul? Sebutan sekolah unggulan itu sendiri kurang tepat. Kata “unggul” menyiratkan adanya superioritas dibanding dengan yang lain. Kata ini menunjukkan adanya “kesombongan” intelektual yang sengaja ditanamkan di lingkungan sekolah. Di negara-negara maju, untuk menunjukkan sekolah yang baik tidak menggunakan kata unggul (excellent) melainkan effective, develop, accelerate, dan essential (Susan Albers Mohrman, et.al., School Based Management: Organizing for High Performance, San Francisco, 1994, h. 81).

Dari sisi ukuran muatan keunggulan, sekolah unggulan di Indonesia juga tidak memenuhi syarat. Sekolah unggulan di Indonesia hanya mengukur sebagian kemampuan akademis. Dalam konsep yang sesungguhnya, sekolah unggul adalah sekolah yang secara terus menerus meningkatkan kinerjanya dan menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal untuk menumbuh-kembangkan prestasi siswa secara menyeluruh. Berarti bukan hanya prestasi akademis saja yang ditumbuh-kembangkan, melainkan potensi psikis, fisik, etik, moral, religi, emosi, spirit, adversity dan intelegensi.

Konsep Sekolah Unggulan

Sekolah unggulan yang sebenarnya dibangun secara bersama-sama oleh seluruh warga sekolah, bukan hanya oleh pemegang otoritas pendidikan. Dalam konsep sekolah unggulan yang saat ini diterapkan, untuk menciptakan prestasi siswa yang tinggi maka harus dirancang kurikulum yang baik yang diajarkan oleh guru-guru yang berkualitas tinggi. Padahal sekolah unggulan yang sebenarnya, keunggulan akan dapat dicapai apabila seluruh sumber daya sekolah dimanfaatkan secara optimal. Berati tenaga administrasi, pengembang kurikulum di sekolah, kepala sekolah, dan penjaga sekolah pun harus dilibatkan secara aktif. Karena semua sumber daya tersebut akan menciptakan iklim sekolah yang mempu membentuk keunggulan sekolah.

Keunggulan sekolah terletak pada bagaimana cara sekolah merancang-bangun sekolah sebagai organisasi. Maksudnya adalah bagaimana struktur organisasi pada sekolah itu disusun, bagaimana warga sekolah berpartisipasi, bagaimana setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab yang sesuai dan bagaimana terjadinya pelimpahan dan pendelegasian wewenang yang disertai tangung jawab. Semua itu bermuara kepada kunci utama sekolah unggul adalah keunggulan dalam pelayanan kepada siswa dengan memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Menurut Profesor Suyanto, program kelas (baca: sekolah) unggulan di Indonesia secara pedagogis menyesatkan, bahkan ada yang telah memasuki wilayah malpraktik dan akan merugikan pendidikan kita dalam jangka panjang. Kelas-kelas unggulan diciptakan dengan cara mengelompokkan siswa menurut kemampuan akademisnya tanpa didasari filosofi yang benar. Pengelompokan siswa ke dalam kelas-kelas menurut kemampuan akademis tidak sesuai dengan hakikat kehidupan di masyarakat. Kehidupan di masyarakat tak ada yang memiliki karakteristik homogen (Kompas, 29-4-2002, h.4).

Bila boleh mengkritisi, pelaksanaan sekolah unggulan di Indonesia memiliki banyak kelemahan selain yang dikemukakan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta di atas. Pertama, sekolah unggulan di sini membutuhkan legitimasi dari pemerintah bukan atas inisiatif masyarakat atau pengakuan masyarakat. Sehingga penetapan sekolah unggulan cenderung bermuatan politis dari pada muatan edukatifnya. Apabila sekolah unggulan didasari atas pengakuan masyarakat maka pemerintah tidak perlu mengucurkan dana lebih kepada sekolah unggulan, karena masyarakat akan menanggung semua biaya atas keunggulan sekolah itu.

Kedua, sekolah unggulan hanya melayani golongan kaya, sementara itu golongan miskin tidak mungkin mampu mengikuti sekolah unggulan walaupun secara akademis memenuhi syarat. Untuk mengikuti kelas unggulan, selain harus memiliki kemampuan akademis tinggi juga harus menyediakan uang jutaan rupiah. Artinya penyelenggaraan sekolah unggulan bertentangan dengan prinsip equity yaitu terbukanya akses dan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menikmati pendidikan yang baik. Keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan ini amat penting agar kelak melahirkan manusia-manusia unggul yang memiliki hati nurani yang berkeadilan.

Ketiga, profil sekolah unggulan kita hanya dilihat dari karakteristik prestasi yang tinggi berupa NEM, input siswa yang memiliki NEM tinggi, ketenagaan berkualitas, sarana prasarana yang lengkap, dana sekolah yang besar, kegiatan belajar mengajar dan pengelolaan sekolah yang kesemuanya sudah unggul. Wajar saja bila bahan masukannya bagus, diproses di tempat yang baik dan dengan cara yang baik pula maka keluarannya otomatis bagus. Yang seharusnya disebut unggul adalah apabila masukan biasa-biasa saja atau kurang baik tetapi diproses ditempat yang baik dengan cara yang baik pula sehingga keluarannya bagus.

Oleh karena itu penyelenggaraan sekolah unggulan harus segera direstrukturisasi agar benar-benar bisa melahirkan manusia unggul yang bermanfaat bagi negeri ini. Bibit-bibit manusia unggul di Indonesia cukup besar karena prefalensi anak berbakat sekitar 2 %, artinya setiap 1.000 orang terdapat 20 anak berbakat (Daniel P. Hallahan dan James M. Kauffman, Exceptional Children: Introduction To Special Education, New Jersey: Prentice-Hall international, Inc., 1991), hh. 6-7). Berdasarkan prakiraan Lembaga Demografi UI (1991) penduduk usia sekolah di Indonesia tahun 2000 diperkirakan sebesar 76.478.249, maka kita akan memiliki anak berbakat (baca: unggul) sebanyak 1.529.565 orang. Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan pimpinan dari tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan.

Restrukturisasi Sekolah Unggulan

Maka konsep sekolah unggulan yang tidak unggul ini harus segera direstrukturisasi. Restrukrutisasi sekolah unggulan yang ditawarkan adalah sebagai berikut: pertama, program sekolah unggulan tidak perlu memisahkan antara anak yang memiliki bakat keunggulan dengan anak yang tidak memiliki bakat keunggulan. Kelas harus dibuat heterogen sehingga anak yang memiliki bakat keunggulan bisa bergaul dan bersosialisasi dengan semua orang dari tingkatan dan latar berlakang yang beraneka ragam. Pelaksanaan pembelajaran harus menyatu dengan kelas biasa, hanya saja siswa yang memiliki bakat keunggulan tertentu disalurkan dan dikembangkan bersama-sama dengan anak yang memiliki bakat keunggulan serupa. Misalnya anak yang memiliki bakat keunggulan seni tetap masuk dalam kelas reguler, namun diberi pengayaan pelajaran seni.

Kedua, dasar pemilihan keunggulan tidak hanya didasarkan pada kemampuan intelegensi dalam lingkup sempit yang berupa kemampuan logika-matematika seperti yang diwujudkan dalam test IQ. Keunggulan seseorang dapat dijaring melalui berbagai keberbakatan seperti yanag hingga kini dikenal adanya 8 macam.

Ketiga, sekolah unggulan jangan hanya menjaring anak yang kaya saja tetapi menjaring semua anak yang memiliki bakat keunggulan dari semua kalangan. Berbagai sekolah unggulan yang dikembangkan di Amerika justru untuk membela kalangan miskin. Misalnya Effectif School yang dikembangkan awal 1980-an oleh Ronald Edmonds di Harvard University adalah untuk membela anak dari kalangan miskin karena prestasinya tak kalah dengan anak kaya. Demikian pula dengan School Development Program yang dikembangkan oleh James Comer ditujukan untuk meningkatkan pendidikan bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin. Accellerated School yang diciptakan oleh Henry Levin dari Standford University juga memfokuskan untuk memacu prestasi yang tinggi pada siswa kurang beruntung atau siswa beresiko. Essential school yang diciptakan oleh Theodore Sizer dari Brown University, ditujukan untuk memenuhi kebutuhan siswa kurang mampu.

Keempat, sekolah unggulan harus memiliki model manajemen sekolah yang unggul yaitu yang melibatkan partisipasi semua stakeholder sekolah, memiliki kepemimpinan yang kuat, memiliki budaya sekolah yang kuat, mengutamakan pelayanan pada siswa, menghargasi prestasi setiap siswa berdasar kondisinya masing-masing, terpenuhinya harapan siswa dan berbagai pihak terkait dengan memuaskan.

Itu semua akan tercapai apabila pengelolaan sekolah telah mandiri di atas pundak sekolah sendiri bukan ditentukan oleh birokrasi yang lebih tinggi. Saat ini amat tepat untuk mengembangkan sekolah unggulan karena terdapat dua suprastruktur yang mendukung. Pertama, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dimana pendidikan termasuk salah satu bidang yang didesentralisasikan. Dengan adanya kedekatan birokrasi antara sekolah dengan Kabupaten/Kota diharapkan perhatian pemerintah daerah terhadap pengembangan sekolah unggulan semakin serius.

Kedua, adanya UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 yang didalamnya memuat bahwa salah satu program pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar dan pendidikan menengah adalah terwujudnya pendidikan berbasis masyarakat/sekolah. Melalui pendidikan berbasis masyarakat/sekolah inilah warga sekolah akan memiliki kekuasaan penuh dalam mengelola sekolah. Setiap sekolah akan menjadi sekolah unggulan apabila diberi wewenang untuk mengelola dirinya sendiri dan diberi tanggung jawab penuh.

Selama sekolah-sekolah hanya dijadikan alat oleh birokrasi di atasnya (baca: dinas pendidikan) maka sekolah tidak akan pernah menjadi sekolah unggulan. Bisa saja semua sekolah menjadi sekolah unggulan yang berbeda-beda berdasarkan pontensi dan kebutuhan warganya. Apabila semua sekolah telah menjadi sekolah unggulan maka tidak sulit bagi negeri ini untuk bangkit dari keterpurukannya.

Oleh: Drs. Nurkolis, MM.
Sumber : pendidikan.net

Operasional Sekolah (BOS) belum sesuai dengan kebutuhan

JAKARTA, KOMPAS.com - Hal tersebut disampaikan oleh ICW pada Jumpa Pers 'Melawan Korupsi, Mewujudkan Sekolah Gratis', siang tadi (Selasa/14/4), di Jakarta. Ketiga masalah tersebut adalah kecukupan anggaran dan mekanisme penganggaran, dukungan pemerintah, serta tata kelola dan penganggaran di sekolah.

Menurut Irawan, Kordinator Advokasi Bidang Pendidikan ICW, wujud sekolah gratis yang dicanangkan pemerintah saat ini terkesan jauh panggang dari api, karena masih minimnya alokasi anggaran pendidikan. Kebijakan sekolah gratis yang terkait kenaikan 50 persen dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) itu belum sesuai dengan kebutuhan, kata Irawan.

Berdasarkan hasil riset ICW dan penelitian litbang Depdiknas, alokasi BOS periode ajaran 2009 yang sebesar 397 sampai 400 ribu rupiah per siswa SD per tahun ternyata tidak mencukupi. Untuk siswa SD dibutuhkan sekitar 1,8 juta per siswa pertahun.

Sementara itu, alokasi yang dibutuhkan untuk siswa SMP sekitar 2,7 juta per siswa per tahun. Sebaliknya, dana BOS yang dialokasikan sebesar 570 hingga 575 ribu rupiah.

Di sisi lain, tanpa dukungan pemerintah daerah kekurangan dana tersebut akan tetap ditanggung oleh orang tua murid seperti yang selama ini terjadi, tandas Irawan. Banyak daerah menarik alokasi dana pendidikannya begitu dana BOS dari pusat turun, tambah Irawan.

Selain itu, ICW juga menyorot soal tata kelola yang buruk terkait sekolah gratis ini. Hal tersebut, masih menurut Irawan, merupakan potensi korupsi karena akan kembali terjadi pungutan-pungutan untuk tata kelola tersebut. Dan sebagian besar anggaran pendidikan termasuk dana BOS dikelola sendiri oleh sekolah, ujar Irawan.

Sumber: Kompas.Com
Tuesday, April 14, 2009 18:33:00

Dugaan Korupsi Suku Dinas Pendidikan Dasar Jakarta Pusat Dilaporkan ke Polda Metro

JAKARTA--MI: Adhi Sarjono, mantan kepala Suku Dinas Pendidikan Dasar (Sudin Dikdas) Kotamadya Jakarta Pusat tahun 2001 sampai 2004 dilaporkan ke Polda Metro Jaya (PMJ) karena dugaan kasus korupsi.

Dugaan ini berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan workshop sistem pembelajaran IPA, IPS, Matematika, Bahasa Inggris dan bahasa Indonesia untuk guru-guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) di lingkungan Kotamadya Jakarta Pusat pada tahun 2004.

Kepala Satuan Pidana Korupsi Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus) PMJ, AKBP Aris Munandar, membenarkan hal ini, Laporan dari SPK (Sentra Pelayanan Kepolisian) baru masuk hari ini, anggota saya masih melakukan penyidikan, ujar Aris saat dihubungi oleh Media Indonesia, Selasa (2/9).

Dari hasil penyelidikan aparat, ternyata memang ditemukan adanya tindak pidana korupsi. Pada mulanya, acara workshop tersebut seharusnya dilaksanakan di hotel Bintang Jadayat daerah Cisarua, Bogor selama lima hari. Akan tetapi dalam pelaksanaannya oleh panitia dari Sudin Dikdas Jakarta Pusat, kegiatan acara ini dipindahkan ke daerah Jakarta.

Acara yang semula direncanakan selama lima hari ini pun dipangkas waktunya menjadi selama tiga hari dengan tempat gratis di gedung PKG Jakarta Timur. Sedangkan dalam lampiran laporan, kegiatan ini tetap dilaksanakan di hotel Bintang Jadayat Cisarua Bogor.

Akibat ulah pelaku, negara diduga mengalami kerugian sebesar 150 juta rupiah. Belum ada saksi yang dipanggil oleh aparat dalam dugaan korupsi ini, Kasus ini masih terus ditangani oleh Unit II Satuan Pidana Korupsi.

Sumber :Media Indonesia Online
Selasa, 02 September 2008 21:34 WIB

Jumat, 17 April 2009

Menjadi Profesional Lewat Pendidikan Non-Formal

Kemampuan mereka di lapangan bahkan melebihi sarjana jebolan perguruan tinggi. Padahal mereka cuma mengikuti pendidikan nonformal, semacam workshop atau seminar-seminar. Masyarakat dunia, termasuk Indonesia, sekarang telah masuk ke era informasi. Era industri telah berlalu. Di era ini, menurut Robert T Kiyosaki, pendidikan formal memang penting, termasuk mendapat gelar. Namun di era reformasi, kata Robert dalam bukunya Rich Dad Poor Dad, pengetahuan yang diperoleh melalui seminar atau pendidikan nonformal jauh lebih berharga daripada pendidikan formal.

Lalu gelar tidak penting? Untuk mendaftar menjadi pegawai negeri dan pegawai swasta, kata Andrias Harefa, penulis puluhan buku best seller yang ‘gagal’ menjadi sarjana, jelas perlu. “Gelar tetap diperlukan untuk kerja kantoran,” katanya kepada Media Indonesia di Jakarta kemarin. Namun, kalau kerjanya seperti Bill Gates (pendiri Microsoft Corp), Michel Dell (pendiri Dell Inc), Sabeer Bhatia (pendiri Hotmail), Steve Jobs (pendiri Apple Inc), dan Mark Zuckerberg (penemu Facebook), menurut Andrias Harefa, gelar tidak ada pengaruhnya sama sekali.

Harefa mengatakan, untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan sangatlah baik jika seseorang bisa belajar sampai ke perguruan tinggi. Namun, kalau tidak bisa sebaiknya tetap dan mesti berjuang untuk belajar. “Manfaatkan saja berbagai media komunikasi yang ada (baik cetak, maupun elektronik),” katanya.

Siap belajar
Menurut Harefa, tugas perguruan tinggi utamanya adalah melahirkan sarjana-sarjana yang siap belajar, bukan siap pakai. “Kalau mereka siap belajar, mereka dapat dengan cepat belajar untuk menjadi siap pakai atau siap kerja,” ujar Harefa. Harefa melihat belakangan ini ada kecenderungan bahwa gelar ‘bertarung’ dengan sertifikasi dan lisensi dalam bidang spesifik. Jika memang kenyataannya demikian, lanjutnya, nilai gelar akademisnya mengalami kemerosotan terus menerus dengan terbukanya informasi lewat teknologi yang makin ramah.

Guna memberikan ‘ilmu’ bagi mereka yang ingin menempuh pendidikan nonformal, Andrias Harefa membuka workshop penulisan. Visi-misinya adalah melahirkan apa yang disebutnya sebagai ‘guru-guru model baru’, yakni penulis yang produktif dan berkarakter. Ada tiga jenjang dalam workshop-nya, yaitu menulis artikel menarik; menulis buku best-seller; dan menulis buku best-seller dengan gaya pribadi. Setiap jenjang berlangsung dua hari.

Investasi atau biaya per workshop Rp. 2.950.000. Tanpa gelar—ia pernah kuliah di Universitas Gajah Mada—Andrias Harefa memulai karirnya sebagai writerpreneur (1988-1990). Lelaki keturunan Nias yang lahir di Curup Bengkulu ini kemudian menjadi professional trainer berlisensi Dale Carnegie Training (1990-1998). Selepas itu, ia mendedikasikan hidupnya untuk apa yang disebutnya sebagai Visi Indonesia 2045; Indonesia menjadi salah satu dari lima negara paling maju di dunia pada 2045.

Pendidikan Komunikasi
Sukses sebagai presenter, Charles Bonar Sirait bersama kawan-kawannya juga membuka pendidikan nonformal yang bergerak di bidang komunikasi, Publicom. Lewat lembaga itu, Charles memberikan pelatihan bagaimana menjadi pembaca acara (MC) dan pembicara publik yang professional.
Lama pendidikan bervariasi ada yang satu hingga tiga bulan. Dia membuka lembaga pendidikan ini, “Sebab, komunikasi sangat penting untuk menunjang karier seseorang, baik mereka yang berprofesi sebagai professional maupun marketer, “ ujarnya. Ke depan, Charles bahkan berniat membuka lembaga pendidikan nonformal di bidang yang tidak saja mengajari peserta didik untuk mengenal public speaking, tapi juga writing. Itu berarti ilmu komunikasi yang diajarkan di perguruan tinggi formal, juga diajarkan di lembaganya. Bedanya, lembaga pendidikan nonformal umumnya lebih banyak berpraktik daripada berteori. Dalam memberikan pendidikan dan pelatihan, menurut Charles, 80% praktik dan 20% teori. Bukankah di lapangan pasar lebih banyak menuntut seseorang menguasai praktek daripada teori?

Layaknya pendidikan formal, mutu pengajaran juga sangat ditekankan pada lembaga-lembaga pendidikan nonformal. Sebagian besar pengajar adalah para praktisi di bidangnya. Dalam soal itu, Harefa sudah punya modal. Dia telah menulis puluhan buku dan banyak diantaranya yang best seller. Peserta didik tentu akan mantap belajar di lembaganya jika Andrias mengajarkan bagaimana kiat menjadi penulis andal sehingga kelak kalau menulis buku bisa best seller. Begitu pula Charles dua buku sudah ditulisnya. Buku pertama berjudul The Power of Public Speaking, dan buku kedua Kiat Cerdas Berkampanye di Depan Publik. Dua-duanya diterbitkan Gramedia Pustaka. Nah, peluang untuk mencari ilmu dan ketrampilan terbentang luas, tidak hanya melalui pendidikan formal, tapi juga nonformal.

Sumber :Harian Media Indonesia,(Sabtu 14 Maret 2009 Hal 19)

Lembaga TK dalam Sisdiknas

Pendidikan anak usia dini yang selanjutnya disebut PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 (enam) tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut TK dapat diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.

* Kelompok Bermain yang selanjutnya disebut KB adalah salah satu bentuk satuan PAUD pada jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program pendidikan dan program kesejahteraan bagi anak berusia 2 (dua) tahun sampai dengan 4 (empat) tahun.
* Taman Kanak-kanak yang selanjutnya disebut TK adalah salah satu bentuk satuan pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.

Secara khusus, PAUD bertujuan untuk :

1. membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab
2. mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, dan sosial peserta didik pada masa emas pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan.

Program Pembelajaran PAUD

1. Program pembelajaran TK, RA, BA dan bentuk lain yang sederajat dikembangkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat.
2. Program pembelajaran TK, RA, BA dan bentuk lain yang sederajat dapat dikelompokkan dalam  program pembelajaran agama dan ahlak mulia;  program pembelajaran sosial dan kepribadian;  program pembelajaran pengetahuan dan teknologi;  program pembelajaran estetika; dan  program pembelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.
3. Semua program pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan mendorong kreativitas serta kemandirian.
4. Program pembelajaran disusun dengan memperhatikan tingkat perkembangan fisik dan psikologis peserta didik serta kebutuhan dan kepentingan terbaik anak.
5. Pengembangan program pembelajaran TK, RA, BA dan bentuk lain yang sederajat didasarkan pada prinsip bermain sambil belajar dan belajar seraya bermain dengan memperhatikan perbedaan bakat, minat, dan kemampuan masing-masing anak, sosial budaya, serta kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
6. Pengembangan program pembelajaran TK, RA, BA dan bentuk lain yang sederajat harus mengintegrasikan kebutuhan anak terhadap kesehatan, gizi, dan stimulasi psikososial.
7. Program pembelajaran dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan 0relevansiny oleh masing-masing satuan pendidikan.

Sumber : kompas.com

Akreditasi Pendidikan Nonformal Tidak untuk Mematikan

JAKARTA, KOMPAS.com - Pendidikan nonformal mulai diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal. Namun, akreditasi itu dibuat sesuai dengan kondisi dan tidak akan mematikan pertumbuhan pendidikan nonformal.

"Kami tidak ingin parameter yang terlalu mengekang tetapi tetap berkualitas. Memang agak menyimpang dari model akreditasi di pendidikan formal itu karena tidak ingin mematikan kegiatan pendidikan nonformal," ujar Sekretaris Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN PNF), Yessi Gusman, Selasa (31/3).

Telah ada instrumen akreditasi untuk 12 jenis program dan akan ditambahkan dua jenis program lagi tahun 2009. Satu lembaga nonformal dapat mempunyai lebih dari satu program. Sampai dengan tahun 2008 ada total 491 program dari sejumlah satuan pendidikan nonformal yang diakreditasi. Tahun 2009, direncanakan total 1.850 lembaga dan program akan diakreditasi.

Masyarakat dapat terbantu dengan adanya akreditasi tersebut dalam menentukan lembaga pendidikan nonformal yang ingin dimasuki. "Dengan akreditasi tersebut, lembaga telah memenuhi standar berdasarkan instrumen yang nanti ditetapkan," ujarnya.

Yessi dan 12 orang anggota BAN PNF diangkat pada Oktober 200 dan bertugas untuk membantu pendidikan nonformal yang cakupannya antara lain l embaga profesional, kursus, serta lembaga nonprofit seperti majlis taklim, taman bacaan masyarakat dan pusat kegiatan belajar masyarakat.

Sumber :Kompas.com
Selasa, 31 Maret 2009 | 21:42 WIB

Anak Pengungsi Atambua Butuh Pendidikan Layanan Khusus

Mandikdasmen (Atambua, NTT): "Tatapan anak-anak itu begitu penuh harapan ketika kami datang" BEGITULAH petikan yang diutarakan oleh salah satu staf dari lima staf dari Direktorat Pembinaan SLB yang datang khusus melihat secara dekat kondisi anak-anak pengungsi di Atambua, Nusa Tenggara Timur, perbatasan dengan Timor Leste, awal Maret lalu.

Setelah Timor Timur (Timtim) berdaulat menjadi Timor Leste beberapa tahun lalu kemudian disusul dengan kondisi politik dan keamanan Timor Leste bulan Februari 2008 yang tidak kondusif, mengakibatkan banyak pengungsi yang 'lari' ke wilayah RI, Atambua.

Para pengungsi itu ditempatkan dibeberapa wilayah di NTT. Biasanya tempat tinggal mereka dekat dengan markas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Hal ini agar para pengungsi dapat dipantau lebih dekat oleh pihak keamanan.

Untuk perjalanan darat dari ibukota NTT yaitu Kupang menuju Atambua akan menempuh waktu enam hingga tujuh jam. Melewati empat kabupaten, yaitu Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Bone.

Sementara perjalanan lewat udara, kurang dari setengah jam. Namun jadwal perjalanan melalui udara terbatas. Pesawat kecil yang dapat mengangkut puluhan orang itu hanya ada dua minggu sekali.

Ribuan Anak Pengungsi

Ada tiga titik wilayah konsentrasi di Kabupaten Belu yang menjadi target pelayanan pendidikan di wilayah Kecamatan Kota Atambua ini yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin.

Anak-anak korban konflik dan anak pengungsi di wilayah ini mencapai ratusan. Bahkan kabarnya bisa lebih dari 1.000 anak.

Anak-anak ini merupakan anak berusia sekolah 7-18 tahun. Mereka terdiri dari anak-anak yatim-piatu, anak-anak yang terpisah karena orang tuanya masih berada di Timor Leste, dan anak pengungsi dari orang tua yang ekonomi tidak mampu.

Bantuan Alat

Pada dasarnya mereka sudah mengenal baca, tulis dan hitung. Sehingga tidak ada kesulitan dalam pengembangan pendidikan selanjutnya.

Sehingga pihak pengelola layanan pendidikan di ketiga kelurahan ini menginginkan pendidikan yang layak bagi anak-anak pribumi yang kurang mampu dan anak-anak pengungsi ini. Karena saat ini sarana dan fasilitas masih terbatas. Selain buku-buku pelajaran, diperlukan sarana keterampilan seperti alat bengkel otomotif, alat tenun, alat jahit, dan alat boga.

"Kami mohon bantuan untuk penye-diaan fasilitas proses belajar mengajar dan sarana keterampilan lainnnya. Pasalnya saat ini sarana belajar dan keterampilan belum memadai. Saat ini anak-anak belajar di ruang kelurahan," kata Mikhael Mali sekalu Kepala Kelurahan Fatubanao.

Anak-anak yang ditampung dalam proses belajar mengajar di Fatubanao ada sebanyak 60 anak. Mereka berusia antara 12-19 tahun ini merupakan campuran dari anak-anak pribumi Atambua dan anak-anak eksodus dari Timor Leste.

Sementara di Kelurahan Tenuki'ik ada sebanyak 20 anak yang berusia 13-17 tahun. Sebanyak 16 anak diantaranya merupakan anak pengungsi.

Sedangkan di Kelurahan Manumutin ada sebanyak 35 anak. Seluruhnya anak pengungsi. Sebanyak 33 orang merupakan usia sekolah yaitu 16-18 tahun. Dua orang lainnya berusia 19 tahun dan 30 tahun.

Layanan Tutor

Selama ini, anak-anak itu diberikan pembekalan pendidikan dan keterampilan oleh lima tutor yang dibina oleh Yayasan Purnama Kasih. Agar para tutor ini merasa nyaman dalam membina anak-anak pengungsi itu, mereka diberikan honor Rp 600.000 dan sejumlah asuransi yaitu jaminan kecelakaan, jaminan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan kematian senilai Rp 2juta per bulan.

"Ini belumlah sebanding dengan pengabdian mereka dalam membina anak-anak ini," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih.

Saat ini mereka belajar dua hari dalam seminggu. Satu hari mereka belajar formal dan hari lainnya belajar keterampilan selama 2-3 jam. Anak-anak yang ditampung dalam pelayanan pendidikan ini nantinya akan bergabung dalam Sekolah PLK di Atambua.

"Mereka akan memperoleh 20 persen muatan pendidikan formal dan 80 persen keterampilan dengan kearifan lokal," kata Ahryanto.

Anak Pengungsi Itu Jadi Penambang Batu

Ketiga kelurahan di Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu, yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin merupakan daerah rawan kriminal seperti pemalakan, penodongan, perampokan, perkelahian dan pembunuhan. Banyak juga yang suka mengemis.

"Pada dasarnya para pengungsi ini memiliki karakter yang mudah curiga dengan orang, terutama orang asing," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih yang menjadi pemandu perjalanan ke Atambua. Namun hal tersebut dapat diminimalisir karena sebagian besar wilayah ini dikuasai oleh TNI-AD.

Anak-anak yatim-piatu dan mereka yang terpisah dengan orang tuanya, biasanya ditampung oleh para sanak keluarga yang berada di Atambua. Namun keluarga yang menampung anak-anak ini juga tidak sanggup untuk membiayai sekolah mereka.

Bagi anak-anak pribumi (Atambua) dari keluarga yang kurang mampu mereka mesti bertahan hidup bersama orang tuanya dengan berkebun atau berdagang, bahkan tak sedikit yang menjadi tukang ojek.

Sementara anak-anak pengungsi dan korban konflik tidak banyak yang bisa mereka lakukan, sehingga hal ini yang menyebabkan kerawanan di daerah tersebut. Namun anak-anak yang mandiri, mereka akan ikut serta menjadi 'penambang' batu kali. Jumlah penambang batu ini mencapai ratusan anak usia sekolah.

Anak-anak tersebut menjadi penambang untuk menyambung hidupnya, karena kabarnya tidak banyak keluarga setempat yang mau memelihara mereka karena berbagai macam alasan.

Batu kali itu dikumpulkan dari sepanjang Sungai Talao, yaitu sungai besar yang melintasi Kota Atambua di wilayah Fatubanao. Setiap rit atau sekitar tiga kubik batu yang telah dipecahkan atau batu-batu kecil dihargai Rp 200.000. Lalu batu-batu itu dijual kepada agen digunakan sebagai pembangunan jalan, atau pengecoran bangunan.

Sumber :Ditulis oleh Rahmintama
Thursday, 27 March 2008

Sabtu, 11 April 2009

Pendidikan tinggi Belanda memberlakukan kebijakan jamin siswa asing

Pemerintah Belanda memberlakukan kebijakan baru di bidang pendidikan tinggi yang ditujukan untuk menjamin kualitas pendidikan tinggi di Belanda. Kebijakan baru yang disebut ”kode etik”, memberikan jaminan bagi siswa asing bahwa prosedur seleksi dan penerimaan telah memenuhi standar yang disyaratkan. Kode etik ini juga memberikan perlindungan dan jaminan kualitas bagi siswa asing, karena hanya universitas atau institusi yang telah menandatangani ”kode etik” yang diijinkan menerima siswa asing untuk studi di Belanda.

”Dengan kode etik ini, siswa asing termasuk siswa Indonesia akan memperoleh jaminan bahwa program yang dipilihnya telah memperoleh akreditasi dari pemerintah Belanda. Kode etik menuntut universitas untuk memberikan layanan terbaik bagi siswa asing dalam berbagai hal seperti standar akademis, kelengkapan informasi yang tersedia, petunjuk dan bimbingan yang benar, pengenalan budaya hingga persiapan keberangkatan. Perhatian khusus juga diberikan berkaitan dengan kedatangan pertama di Amsterdam, akomodasi dan hal-hal teknis seperti soal kedisiplinan, metode pengajaran dan penilaian yang berlaku selama masa studi,” demikian Ad de Leew, Direktur Netherlands Education Centre (NEC).

Fokus ”kode etik” pada pentingnya kualitas membuat pemerintah Belanda menjamin bahwa visa studi di Belanda hanya akan diberikan kepada siswa yang mendaftar di universitas yang telah menandatangani ”kode etik”. Daftar universitas yang telah menandatangani ”kode etik” dapat dilihat langsung oleh melalui website www.internationalstudy.nl. Universitas yang ada dalam daftar tersebut menawarkan program studi internasional yang telah terakreditasi. Komite nasional beranggotakan wakil-wakil dari organisasi pendidikan tinggi di Belanda telah dibentuk untuk mengawasi jalannya kebijakan atau kode etik ini.

Ad menambahkan,”Kode etik mengatur standar persyaratan minimum bagi semua siswa asing yang ingin studi di Belanda. Hal ini untuk memastikan agar setiap siswa dapat menyelesaikan studinya dengan baik. Persyaratan ini diantaranya adalah nilai kemampuan bahasa Inggris untuk calon siswa program S1 dan S2 adalah TOEFL 550 atau IELTS 6.”

”Kode etik” yang berlaku sejak bulan Mei 2006, merupakan hasil kerja sama antara Kementrian Pendidikan, Budaya dan Ilmu Pengetahuan dengan Kementrian Luar Negeri, Kementrian Kehakiman Belanda serta beberapa organisasi yang didanai oleh Kementrian Pendidikan, Budaya dan Ilmu Pengetahuan Belanda, termasuk NUFFIC di dalamnya.

Sumber :NEC.com

Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi masih Rendah

Angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia baru mencapai 18 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Presentase angka partisipasi kasar pendidikan tinggi (mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi) masih cukup rendah dibanding dari jumlah penduduk Indonesia'' kata Taufik Hanafi, Direktur Pendidikan dan Urusan Keagamaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta, Selasa (10/3).

Rendahnya angka tersebut menurut Taufik dipengaruhi oleh angka kelulusan SLTA yang juga masih rendah.Berdasarkan Angka Kerja Menurut Pendidikan Tinggi yang Ditamatkan di Perkotaan dan Pedesaan tahun 2008 oleh Bappenas, angka tertiggi kelulusan SLTA dari tujuh regional (desa dan perkotaan) hanya mencapai 30, 28 persen dari total usia sekolah. Sedangkan angka terendah di Nusa Tenggara hanya mencapai 21,10% dan di Jakarta dan Pulau Jawa angka kelulusan SLTA hanya mencapai 28,43 persen.

''Untuk tingkat pendidikan dasar memang sudah cukup baik tapi untuk tingkat lanjut setingkat SLTP dan SLTA masih tertinggal dibanding negara lain,'' kata dia.Menurut data Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programe 2002-2005, Indonesia hanya menduduki peringkat 107 dari 170 negara. Ketiga dari bawah untuk negara ASEAN. di bawah Vietnam yang menduduki peringkat 105, Filipina (90), dan Thailand (78).Peringkat tertinggi negara ASEAN diduduki Singapura, yaitu ke- 25 dari 170 negara.

Taufik mengatakan untuk mendukung rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) 2008 pada lima tahun kedua (2010-2014) angka partisipasi diharapkan meningkat menjadi 25 persen.''Memang peningkatan yang diharapkan cukup tinggi. Tapi angka tersebut harus diupayakan untuk mendukung RPJPN hingga 2025 mendatang.

Sumber: Republika Online
Selasa, 10 Maret 2009 pukul 12:27:00

Komersialisasi Pendidikan Tinggi

Perguruan tinggi merupakan suatu wadah yang digunakan untuk Research & Development (R&D) serta arena penyemaian manusia baru untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian serta kompetensi keilmuan sesuai bidangnya. Secara umum dunia pendidikan memang belum pernah benar-benar menjadi wacana publik di Indonesia, dalam arti dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan, baik yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan urusan pendidikan. Namun demikian, bukan berarti bahwa permasalahan ini tidak pernah menjadi perhatian.

Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar hadiah & gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak sehat.

Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Semoga masyarakat dan orang tua yang akan menyekolahkan putra putrinya tidak terjebak pada kondisi tersebut dan lebih bijak dalam memilih perguruan tinggi, sehingga putra-putrinya tidak terkesan asal kuliah.

Ditengah besarnya angka pengangguran di Indonesia yang telah mencapai lebih dari 45 juta orang, langkah yang harus ditempuh adalah mencari pendidikan yang baik dan bermutu yang dibutuhkan pasar. Bukan hanya murah saja dan asal. Tidak dipungkiri lagi bahwa selama ini, dunia industri kesulitan mencari tenaga kerja dengan keahlian tertentu untuk mengisi kebutuhan pekerjaan. Bila membuka lowongan, yang melamar biasanya banyak, namun hanya beberapa yang lulus seleksi.

Pasalnya jarang ada calon pegawai lulusan perguruan tinggi atau sekolah, yang memiliki keahlian yang dibutuhkan, karena kebanyakan berkemampuan rata-rata untuk semua bidang. Jarang ada yang menguasai bidang-bidang yang spesifik. Hal ini tentunya menyulitkan pihak pencari kerja, karena harus mendidik calon karyawan dulu sebelum mulai bekerja.

Sebagian besar perguruan tinggi atau sekolah mendidik tenaga ahli madya (tamatan D.III) tetapi keahliannya tidak spesifik.

Lebih parah lagi, bahkan ada PTS di Jakarta yang memainkan range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus alias IP/IPK nasakom. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Ini adalah cermin dari proses PEMBODOHAN BANGSA bukan mencerdaskan BANGSA. Dalam hal ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi pelayanan pendidikan yang baik & berkualitas. Kopertis, harus bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS. Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.

Selain itu pula, apa yang menjadi barometer yang menunjukkan eksistensi sebuah perguruan tinggi? Untuk saat ini opini publik dan beberapa kalangan masyarakat bahwa eksistensi sebuah Perguruan Tinggi dilihat dari kuantitas mahasiswanya bukan kualitasnnya. Nah ini jelas sudah terlihat faktanya bahwa pendidikan di Indonesia hanya menjadi komoditi bisnis semata.

Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi kesehatan jiwa bagi anak bangsa, harapan kami semoga komersialisasi pendidikan tinggi tidak menjadi sebuah komoditi bisnis semata, akan tetapi menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global. mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan menyangkut masa depan anak-anak kita dan Juga Bangsa Indonesia.

Sumber :pusatartikel.com

Buka Kran Pendidikan Bahasa Asing

Era pasar bebas menuntut sumber daya manusia yang berkualitas. Generasi muda pun dituntut mampu menguasai bahasa asing. Lembaga pendidikan informal mencoba menjawab tuntutan itu. Pemerintah juga dituntut tidak menutup kran terhadap pendidikan bahasa asing. Lantas bagaimana ketertarikan generasi muda untuk belajar bahasa asing tersebut.

Kendati tidak ada penelitian konkrit, namun lembaga pendidikan informal menyatakan kesadaran generasi muda terhadap bahasa asing cukup meningkat. Hanya saja, kualitas tenaga pengajar bidang bahasa asing ini masih rendah. "Minat generasi muda bertambah. Apalagi Kota Pontianak menjadi bagian masyarakat internasional yang mau tidak mau harus menerima desakan penguasaan bahasa asing itu, terutama bahasa inggris dan mandarin," ujar Praktisi Pendidikan Indonesia, Drs Hanafi Yahya SH PhD kepada Pontianak Post, Sabtu (20/3) siang.

Ia didaulat menjadi pembicara dalam seminar mengenai pendidikan bahasa asing, yang digelar oleh Institut Pusat Bahasa dan Bimbingan Belajar "Bryan Anthony" Pontianak di Kompleks Pontianak Mall Pontianak. Seminar diikuti sejumlah guru-guru privat sehingga penguasaan pembelajarannya dapat dilakukan secara optimal.

Setidaknya dua bahasa asing, Bahasa Inggris dan Bahasa Mandarin, harus dikuasai generasi muda di daerah ini. Apalagi Bahasa Mandarin sudah menjadi bahasa bisnis kedua di dunia setelah Bahasa Inggris. Ini harus diakui kedua bahasa ini paling banyak diguanak dalam dunia bisnis. Bahkan beberapa negara di dunia telah mengharuskan warganya menguasa dua bahasa tersebut. "Survei perekrutan eksekutif muda di beberapa negara maju. Mereka yang menguasai kedua bahasa itulah yang menjadi prioritas dalam penerimaan dari perekrutan tersebut," katanya.

Ia melihat di era orde baru pendidikan bahasa asing cenderung dikerangkeng. Karenanya, pemerintah tidak lagi menutup pintu mengenai penggunaan bahasa asing, terutama bahasa inggris dan mandarin. "Seharusnya pemerintah tidak lagi menutup kran itu. Sebab, generasi muda harus bisa berkompetisi di dunia internasional. Tentunya, kita harus bisa menjadi pemain dalam dunia bisnis internasional. Makanya bahasa asing harus dikuasai," jelasnya.

Hanafi yang juga Dosen Universitas Bina Nusantara Jakarta itu menilai sangat tidak masuk akal, kalau pemerintah masih menghambat pendidikan bahasa asing. "Pemerintah harus membuat kebijakan pendidikan yang mengarah pada penggunaan bahasa asing di sekolah formal tanpa harus mengabaikan bahasa lokal," katanya.

Sementara itu Principal Institut Pusat Bahasa dan Bimbingan Belajar "Bryan Anthony" Pontianak, Benni mengatakan, digelarnya seminar ini untuk memberikan pemahaman lebih kepada guru-guru privat dalam memberikan penguasaan bahasa asing, sehingga nantinya dapat menghasilkan generasi muda yang memang ahli berbahasa asing.

Era pasar bebas menuntut sumber daya manusia yang berkualitas. Generasi muda pun dituntut mampu menguasai bahasa asing. Lembaga pendidikan informal mencoba menjawab tuntutan itu. Pemerintah juga dituntut tidak menutup kran terhadap pendidikan bahasa asing. Lantas bagaimana ketertarikan generasi muda untuk belajar bahasa asing tersebut.

Sumber :Pontianak post
Minggu, 12 April 2009

Pemerintah Harus Lebih Perhatikan Pendidikan Informal

Perhatian pemerintah kepada pendidikan informal dan non-formal dirasa masih kurang. Pebedaan sikap bahkan masih terasa dengan kesan menomorduakannya.”Padahal sesungguhnya ada yang istimewa dalam program informal dan non formal ini, yaitu daya jangkaunya yang mampu menjangkau segala umur, tidak terikat status pernikahan, dan bisa menjangkau wilayah terpencil”, demikian Yusup Haryanto, SPd, koordinator PKBM Tunas Melati, Pemuda Muhammadiyah kabupaten Bogor kepada muhammadiyah.or.id, selasa (1/04/2008).

Menurut Yusup, setelah ada program BOS, sebenarnya masyarakat sudah banyak terbantu, khususnya untuk biaya SPP. Namun menurutnya, di lapangan ternyata biaya transport peserta didik ke sekolah masih banyak yang memberatkan orang tua siswa, terutama siswa dari daerah terpencil. “ Inilah kelemahan konsep Sekolah Terbuka” yang masih mengharuskan siswa berangkat dari rumah ke sekolah tertentu. Belum lagi masalah dengan status perkawinan, dimana sekolah formal tidak memungkinkan seorang siswa sudah menikah ikut bersekolah.

Dengan pertimbangan itulah, menurut Yusup, pogram PKMB Tunas Melati yang pada awalnya merupakan hasil MOU PP Pemuda Muhammadiyah dan Dirjen Pendidikan Informal dan Non Formal saat ini menjadi solusi yang cukup menarik bagi warga belajar di daerah kabupaten Bogor. Program yang difasilitasi dengan Kelas Berjalan, berupa Bis ini bisa menjangkau pelosok dan masyarakat miskin dengan mudah. “ Karena program ini geratis dan kami mendatangi mereka” cerita Yusup.

Saat ini, PKBM Tunas Melati mengelola tujuh kecamatan di Kabupaten Garut, yaitu kecamatan Nanggung, Pamijahan, Jasinga, Leuwiliang, Cibubulang, Sukajaya, Darmaga dan Tamansari. Kesemuanya dikelompokkan pada 28 Kelompok belajar yang masing-masing kelompok berkisar antara 80 hingga 100 warga belajar, dengan dipandu tujuh hingga delapan tutor. Pogram yang baru berjalan setahun ini, saat ini sudah meluluekan 700 warga belajar dari paket A, B, dan C selain program pemberantasan buta aksara melalui Keaksaraan Fungsional, program Pendidikan Anak Usia Dini, Kursus Masuk Desa dan Beasiswa Belajar.

Keberlanjutan dan Pengembangan Program

Menurut Yusup, program yang sedang berjalan ini masih belum pasti apakah masih akan mendapat support dana dari Depdiknas untuk kelanjutan programnya, namun karena melihat manfaat program yang besar serta sambutan masyarakat yang besar, dengan ada tidaknya bantuan dari pemeintah segenap pengelola dan keluarga besar Muhammadiyah Kabupaten Bogor bertekad untuk meneruskan program ini.

Yusup mengakui, selama ini masalah yang dihadapi adalah kecilnya honor tutor yang saat ini berjumlah seratus orang. Karen a itu, selain berharap bahwa ke depan masih akan ada pihak-pihak yang mau bekerjasama membiayai program strategis ini, juga perlu diperhatikan bagaimana menaikkan kesejahteraan para tutor yang diambil dari keluarga besar Angkatan Muda Muhammadiyah Kabupaten Bogor sendiri.

Saat ini, PKBM Tunas Melati bertempat di kompleks amal usaha Muhammadiyah Kabupaten Bogor, Jl Raya Leuwiliang No. 106, Bogor. Telp. 0251 47619. Di kompleks tersebut berdiri TK ABA, MI Muhammadiyah, Mu’alimim Muhammadiyah (Mts dan MA), BMT, Poskestren, Panti Asuhan Yatim dan Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Bogor.

Sumber :Muhammadiyah.com

Homeschooling Histeria

Homeschooling atau sekolah rumah, masih saja menjadi bahan perbincangan yang menarik. Penerapan homeschooling pun tak sepi dari pro dan kontra. Memang, homeschooling sendiri sebenarnya bukan barang baru di dunia pendidikan. Pemerintah sendiri mengamini keberadaan homeschooling melalui UU Sisdiknas, Pasal 27 mengenai pendidikan informal.

Apakah diamininya homeschooling oleh pemerintah dikarenakan ingin berlepas tangan dari tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pendidikan? Wallahu?alam. Karena, homeschooling sendiri mulai pembiayaan, fasilitas belajar mengajar sampai tenaga pengajar diselenggarakan oleh masyarakat. Memang pemerintah menyediakan kurikulum sebagai tuntunan bahan ajar, namun masyarakat cenderung memilih kurikulum luar yang rata-rata berasal dari luar Indonesia. Contohnya, kurikulum Franklin Classical School dari Amerika Serikat.
Homeschooling Indonesia dinaungi Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah-Pena). Juga ada Morning Star Academy, Komunitas Homeschooling Berkemas, Homeschooling Kak Seto, dan KerLip.

Tampaknya, gelombang ketertarikan masyarakat terhadap homeschooling dipacu oleh banyak sebab. Di antaranya, biaya pendidikan formal yang kian membumbung tinggi, terjadinya bullying action pada lingkungan sekolah, rutinitas belajar mengajar yang terasa berat dan membosankan, peserta didik telah fokus dalam kesibukan tertentu (bekerja) serta lebih mudah menanamkan nilai agamis dalam berbagai mata pelajaran yang disajikan.

Pendek kata, apakah homeschooling adalah buah dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap mutu sekolah formal dalam mendidik dan membentuk pribadi benih insan bangsa. Ditambah beban biaya pendidikan formal yang kian mahal, serta penerapan kurikulum yang cenderung gonta-ganti dan membuat peserta didik merasa seperti animal test? Lagi-lagi, wallahu?alam.

Pasal 7 UU Sisdiknas mengenai Hak dan Kewajiban Orangtua. Ayat 1. Orangtua berhak berperanserta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anak. Ayat 2. Orangtua dari anak usia wajib belajar berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.
Mengaitkan antara homeschooling dan Pasal 7 tersebut, saya menyimpulkan, homeschooling sebenarnya bagus kalau diposisikan sebagai wahana pembentuk karakter dan kepribadian anak.

Orangtua justru akan ikut terlibat dan mewarnai pembentukan karakter dan kepribadian anak mereka melalui homeschooling, dengan bahan ajar yang lebih menitikberatkan pada penanaman nilai keimanan serta akhlak yang terpuji. Hasilnya adalah tidak saja terbentuk karakter yang khas, namun anak nantinya memiliki pendewasaan berpikir dan tidak bermental tempe.

Namun, yang menjadi polemik adalah tidak semua orangtua siap dan mumpuni menjadi guru bagi anaknya. Kapasitas ilmu yang dikuasai serta waktu yang tersita untuk mencari nafkah, membuat realita homeschooling sebagai pembentuk kepribadian masih sulit diwujudkan secara merata demi perbaikan iman dan mental insan bangsa ini. Akhirnya, homeschooling tetap menjadi alternatif bagi sebagian orangtua. Padahal, yang pertama kali mewarnai tingkah polah dan pemikiran anak sejak lahir adalah orangtua. Artinya, orangtua adalah guru pertama bagi anak-anaknya.

Homeschooling seharusnya bukan sebagai wahana belajar mengajar yang menolak sekolah formal, namun sebagai wahana belajar mengajar yang melibatkan orangtua dalam penanaman nilai iman dan akhlak terpuji bagi anak mereka.
Inilah saatnya untuk memperbaiki mutu sekolah formal agar menjadi sekolah yang ramah biaya, juga pada aspek fisik dan psikologis peserta didik sehingga mampu mewujudkan cita-cita pendidikan yang sebenarnya dan menjadikan homeschooling sebagai wahana pembentuk iman dan kepribadian insan bangsa.

Bukan justru mengadu domba antara homeschooling dan sekolah formal. Bukankah tujuan pendidikan membentuk insan yang bertakwa serta berakhlak baik dan berguna bagi sesama, bangsa dan agama? Pemerintah pun tetap nomor satu sebagai penyelenggara pendidikan, dan orangtua pun tidak meninggalkan kewajibannya sebagai sekolah pertama bagi anaknya. Gejolak homeschooling histeria yang menolak sekolah formal pun dapat diredam.

Sumber :Hati bening.com

Pemerintah Kurang Peduli Pendidikan Non Formal

Pengamat pendidikan, Darmaningtyas mengatakan, Jumat (3/4), pemerintah sejauh ini masih lebih memfasilitasi pendidikan formal. Padahal, kenyataannya pendidikan formal belum sepenuhnya mampu menyiapkan tenaga terampil. Tenaga terampil justru banyak disiapkan oleh pendidikan nonformal, seperti kursus.

Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah baru menyusun regulasi mengenai kursus. Salah atu yang direncanakan akan diatur ialah pembatasan wilayah operasional kursus berskala internasional hanya sampai ibukota provinsi.

Di tengah kondisi tersebut, menurut Darmaningtyas, pemerintah seharusnya tidak hanya bersifat mengawasi, tetapi lebih banyak lagi memfasilitasi. "Kalau ada lembaga pendidikan lokal yang tumbuh, perlu dibantu fasilitasnya, perizinan dipermudah, dan diba ntu berjejaring untuk menyalurkan lulusannya. Jadi, iklimnya mendukung," ujarnya.

Departemen Pendidikan Nasional perlu pula bersinergi dengan sektor lain, seperti Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta koperasi.

"Departemen Pendidikan Nasional , misalnya, bisa menyusun kurikulum. Koperasi menyalurkan produk-produk karya peserta kursus. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengurusi ketenagaan seperti soal sertifikasi," ujarnya.

Kualitas sebuah lembaga kursus sebetulnya yang menilai ma syarakat. Kursus yang berkualitas pasti diminati masyarakat. Jika kualitas kursus di dalam negeri sudah berkualitas, akan lebih baik. Pada dasarnya, masyarakat akan tetap keluar uang untuk memeroleh pendidikan.

"Kalau yang kian dominan itu warala ba asing, ada modal yang akan mengalir ke luar. Biaya waralaba itu dibayarkan ke luar negeri," ujarnya.

Sumber :Kompas.com
Jumat, 3 April 2009 | 20:50 WIB

Kursus dan PAUD Diakreditasi, Keikutsertaan Bersifat Sukarela

Jakarta, Kompas - Pendidikan nonformal mulai diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal. Pada tahun ini, lembaga pendidikan nonformal kursus, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan pendidikan anak usia dini mulai diakreditasi.

Akreditasi akan disesuaikan dengan karakter pendidikan nonformal serta dilakukan untuk mendukung perkembangan pendidikan nonformal.

Sekretaris Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal (BAN PNF) Yessi Gusman mengatakan, Selasa (31/3), para anggota BAN PNF masih menyusun instrumen untuk akreditasi terhadap tiga jenis lembaga pendidikan nonformal itu. Instrumen tersebut nantinya akan diujicobakan dan disosialisasikan lalu setelah itu baru diimplementasikan.

Para anggota BAN PNF akan merujuk ke delapan standar nasional pendidikan sebagai syarat yang berkaitan dengan kelembagaan. Selain itu, ada berbagai hal lain yang akan diperjelas, misalnya persoalan badan hukum lembaga pendidikan nonformal.

”Kami masih mempertimbangkan, apakah pendidikan anak usia dini atau PAUD perlu berbadan hukum atau tidak? Kami harus melihat keragaman pendidikan nonformal yang ada di masyarakat,” kata Yessi.

Dia mengambil contoh, untuk PAUD di daerah terpencil membuat akta notaris tentu mahal biayanya. Padahal, ada PAUD yang bergerak dengan dana sangat terbatas.

Hasil akreditasi nantinya berbeda dengan akreditasi pendidikan formal yang mengenal klasifikasi A, B, dan C. Adapun untuk akreditasi pendidikan nonformal hasilnya berupa pernyataan terakreditasi dan tidak terakreditasi.

Masyarakat terbantu

Masyarakat dapat terbantu dengan adanya akreditasi itu dalam menentukan lembaga pendidikan nonformal yang ingin dimasuki. ”Dengan akreditasi tersebut, lembaga telah memenuhi standar berdasarkan instrumen yang nanti ditetapkan,” ujar Yessi.

Kegiatan akreditasi sebetulnya telah dilaksanakan mulai tahun 2007, tetapi baru akreditasi terhadap program. Telah ada instrumen akreditasi untuk 12 jenis program dan akan ditambahkan dua jenis program lagi tahun 2009.

Satu lembaga nonformal dapat mempunyai lebih dari satu program. Sampai dengan 2008, ada total 491 program dari sejumlah satuan pendidikan nonformal yang diakreditasi. Tahun 2009 direncanakan total 1.850 lembaga dan program akan diakreditasi.

Keikutsertaan dalam akreditasi bersifat sukarela. Yessi mengatakan, ada juga lembaga- lembaga pendidikan nonformal berkualitas dan telah terkenal tidak berkeinginan mengikuti akreditasi. ”Jika suatu lembaga itu telah terbukti di masyarakat mempunyai program yang bagus, pasti akan lolos akreditasi,” ujarnya.

Yessi dan 12 anggota BAN PNF diangkat pada Oktober 2006 dan bertugas untuk membantu pendidikan nonformal yang cakupannya antara lain lembaga profesional, kursus, dan lembaga nonprofit seperti majelis taklim, taman bacaan masyarakat, dan pusat kegiatan belajar masyarakat.

Tidak mematikan

Penggiat pendidikan alternatif, Yanti Sriyulianti, mengatakan, akreditasi penting sejauh sebagai pertanggungjawaban umum lembaga pendidikan nonformal kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat yang menjadi peserta lembaga pendidikan nonformal tidak dirugikan.

Akan tetapi, tetap harus diberi kesempatan luas bagi inovasi di lapangan. Prinsip dasar pendidikan nonformal ialah belajar di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja.

”Kalau nonformal diakreditasi dengan parameter terlalu kaku dan keras akan sangat menyulitkan pertumbuhan pendidikan nonformal,” ujarnya. Bahkan, menurut Yanti, akreditasi cukup sebatas kompetensi para lulusan lembaga nonformal tersebut dan status hukum lembaga itu.

Kehadiran lembaga pendidikan nonformal dengan segala keragamannya masih sangat dibutuhkan. Apalagi, lembaga pendidikan formal belum sepenuhnya dapat diakses masyarakat.

Sumber :KOMPAS, Rabu, 1 April 2009

Menjadi Profesional Lewat Pendidikan Non-Formal

Kemampuan mereka di lapangan bahkan melebihi sarjana jebolan perguruan tinggi. Padahal mereka cuma mengikuti pendidikan nonformal, semacam workshop atau seminar-seminar. Masyarakat dunia, termasuk Indonesia, sekarang telah masuk ke era informasi. Era industri telah berlalu. Di era ini, menurut Robert T Kiyosaki, pendidikan formal memang penting, termasuk mendapat gelar. Namun di era reformasi, kata Robert dalam bukunya Rich Dad Poor Dad, pengetahuan yang diperoleh melalui seminar atau pendidikan nonformal jauh lebih berharga daripada pendidikan formal.

Lalu gelar tidak penting? Untuk mendaftar menjadi pegawai negeri dan pegawai swasta, kata Andrias Harefa, penulis puluhan buku best seller yang ‘gagal’ menjadi sarjana, jelas perlu. “Gelar tetap diperlukan untuk kerja kantoran,” katanya kepada Media Indonesia di Jakarta kemarin. Namun, kalau kerjanya seperti Bill Gates (pendiri Microsoft Corp), Michel Dell (pendiri Dell Inc), Sabeer Bhatia (pendiri Hotmail), Steve Jobs (pendiri Apple Inc), dan Mark Zuckerberg (penemu Facebook), menurut Andrias Harefa, gelar tidak ada pengaruhnya sama sekali.

Harefa mengatakan, untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan sangatlah baik jika seseorang bisa belajar sampai ke perguruan tinggi. Namun, kalau tidak bisa sebaiknya tetap dan mesti berjuang untuk belajar. “Manfaatkan saja berbagai media komunikasi yang ada (baik cetak, maupun elektronik),” katanya.

Siap belajar
Menurut Harefa, tugas perguruan tinggi utamanya adalah melahirkan sarjana-sarjana yang siap belajar, bukan siap pakai. “Kalau mereka siap belajar, mereka dapat dengan cepat belajar untuk menjadi siap pakai atau siap kerja,” ujar Harefa. Harefa melihat belakangan ini ada kecenderungan bahwa gelar ‘bertarung’ dengan sertifikasi dan lisensi dalam bidang spesifik. Jika memang kenyataannya demikian, lanjutnya, nilai gelar akademisnya mengalami kemerosotan terus menerus dengan terbukanya informasi lewat teknologi yang makin ramah.

Guna memberikan ‘ilmu’ bagi mereka yang ingin menempuh pendidikan nonformal, Andrias Harefa membuka workshop penulisan. Visi-misinya adalah melahirkan apa yang disebutnya sebagai ‘guru-guru model baru’, yakni penulis yang produktif dan berkarakter. Ada tiga jenjang dalam workshop-nya, yaitu menulis artikel menarik; menulis buku best-seller; dan menulis buku best-seller dengan gaya pribadi. Setiap jenjang berlangsung dua hari.

Investasi atau biaya per workshop Rp. 2.950.000. Tanpa gelar—ia pernah kuliah di Universitas Gajah Mada—Andrias Harefa memulai karirnya sebagai writerpreneur (1988-1990). Lelaki keturunan Nias yang lahir di Curup Bengkulu ini kemudian menjadi professional trainer berlisensi Dale Carnegie Training (1990-1998). Selepas itu, ia mendedikasikan hidupnya untuk apa yang disebutnya sebagai Visi Indonesia 2045; Indonesia menjadi salah satu dari lima negara paling maju di dunia pada 2045.

Pendidikan Komunikasi
Sukses sebagai presenter, Charles Bonar Sirait bersama kawan-kawannya juga membuka pendidikan nonformal yang bergerak di bidang komunikasi, Publicom. Lewat lembaga itu, Charles memberikan pelatihan bagaimana menjadi pembaca acara (MC) dan pembicara publik yang professional.
Lama pendidikan bervariasi ada yang satu hingga tiga bulan. Dia membuka lembaga pendidikan ini, “Sebab, komunikasi sangat penting untuk menunjang karier seseorang, baik mereka yang berprofesi sebagai professional maupun marketer, “ ujarnya. Ke depan, Charles bahkan berniat membuka lembaga pendidikan nonformal di bidang yang tidak saja mengajari peserta didik untuk mengenal public speaking, tapi juga writing. Itu berarti ilmu komunikasi yang diajarkan di perguruan tinggi formal, juga diajarkan di lembaganya. Bedanya, lembaga pendidikan nonformal umumnya lebih banyak berpraktik daripada berteori. Dalam memberikan pendidikan dan pelatihan, menurut Charles, 80% praktik dan 20% teori. Bukankah di lapangan pasar lebih banyak menuntut seseorang menguasai praktek daripada teori?

Layaknya pendidikan formal, mutu pengajaran juga sangat ditekankan pada lembaga-lembaga pendidikan nonformal. Sebagian besar pengajar adalah para praktisi di bidangnya. Dalam soal itu, Harefa sudah punya modal. Dia telah menulis puluhan buku dan banyak diantaranya yang best seller. Peserta didik tentu akan mantap belajar di lembaganya jika Andrias mengajarkan bagaimana kiat menjadi penulis andal sehingga kelak kalau menulis buku bisa best seller. Begitu pula Charles dua buku sudah ditulisnya. Buku pertama berjudul The Power of Public Speaking, dan buku kedua Kiat Cerdas Berkampanye di Depan Publik. Dua-duanya diterbitkan Gramedia Pustaka. Nah, peluang untuk mencari ilmu dan ketrampilan terbentang luas, tidak hanya melalui pendidikan formal, tapi juga nonformal. Silakan pilih sesuai dengan minat.

Sumber :Harian Media Indonesia, Sabtu 14 Maret 2009 Hal 19