Senin, 11 Mei 2009

Jalan Panjang Sekolah Autisme

SLB Autis Fajar Nugraha di Seturan, Condong Catur, Depok, Sleman, terus didatangi orangtua dari anak penyandang autisme yang ingin menyekolahkan anak mereka.
”Kesadaran orangtua untuk menyekolahkan anak autis memang meningkat. Saat ini, tiap tiga hari sekali ada orangtua yang datang. Itu belum termasuk telepon tiap hari yang mencari informasi tentang sekolah autis,” tutur Kepala SLB Autis Fajar Nugraha Meiriawan, Rabu (30/4).

Tercatat setidaknya delapan anak autis masuk daftar tunggu untuk bisa bersekolah di SLB autistik pertama di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1997 itu. Pihak sekolah pun tidak bisa menjanjikan kapan anak-anak itu bisa mulai belajar. Pasalnya, jangka waktu kelulusan anak berbeda-beda, tergantung dari kemampuan masing-masing.

Mereka bisa menyelesaikan pendidikan dalam satu tahun, dua tahun, tiga tahun, atau bahkan bertahun-tahun. Proses belajar tiap anak pun didampingi secara utuh oleh seorang guru. Ketika seorang anak lulus, guru pendamping baru bisa mengajar anak autis lain. Dengan 16 guru pendamping, saat ini SLB Autis Fajar Nugraha melayani 14 anak autis.

Meiriawan mengungkapkan, selama bersekolah, anak-anak autis disiapkan untuk mampu mandiri. Kemampuan bina diri, kognitif, psikomotorik, bahasa, dan sosialisasi anak terus dikembangkan. Harapannya, setelah lulus dari SLB autistik mereka bisa meneruskan studi ke sekolah umum.

Hanya saja, kemampuan tiap anak tidak bisa disamakan. Aldo (3), misalnya, diharapkan sudah bisa lulus dari SLB Autis Fajar Nugraha dalam dua tahun ke depan. Rabu siang itu, bersama rekan-rekannya yang lain, Aldo menyuapkan sendiri makan siangnya ke dalam mulut.

Kholifatut Diniah, pengajar di SLB Autis Fajar Nugraha, mengutarakan, mendampingi anak autis memang merupakan tantangan yang membutuhkan kesabaran luar biasa. ”Meski terkadang anak autis seperti berada di dunianya sendiri dan mengacuhkan orang lain, mereka bisa merasakan dengan hati,” ujarnya.

Tak terlupakan
Penanganan autisme—gangguan perkembangan akibat adanya gangguan neurobiologis yang memengaruhi fungsi otak sehingga anak tidak bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif—memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di SLB Autis Fajar Nugraha, orangtua harus membayar Rp 600.000 per bulan.

Setelah tamat dari sekolah luar biasa autis dasar yang setara TK hingga SD, penyandang autisme dapat melanjutkan ke SLB Autis Lanjutan atau setara dengan jenjang SMP-SMA. Biayanya juga tidak murah. Di SLB Autis Lanjutan Fredofios Yogyakarta, biaya pendidikan mencapai Rp 750.000 per bulan.

Selain mata pelajaran yang berlaku di sekolah formal, seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, sekolah ini juga memberikan pelajaran keterampilan seperti Seni Lukis, Seni Musik, Komputer, Seni Tari, Seni Kriya, dan Memasak. ”Murid didorong tidak hanya untuk mengembangkan kemampuan akademis, namun yang terpenting dapat merangsang saraf motoriknya,” ucap Kepala SLB Autis Lanjutan Fredofios Abdu Somad.

Untuk mempermudah murid autis menyerap materi pelajaran, metode pengajaran diberikan secara visual. ”Murid autis tidak bisa diberikan sesuatu yang abstrak, mereka akan bingung. Karenanya, 75 persen pelajaran yang diberikan kepada murid berupa praktik. Sisanya untuk pelajaran akademis,” ujar Somad.

Seperti anak pada umumnya, lanjut Somad, anak autis juga memiliki potensi yang perlu digali. Pengajar akan memperbanyak porsi pada aktivitas yang diminati murid autis. Saat ini SLB autis lanjutan Fredofios memiliki delapan murid yang terdiri atas enam murid penderita autis dan dua murid tunagrahita. Usia mereka 14-22 tahun, dan dilayani oleh tujuh pengajar dengan spesialisasi materi-materi yang berbeda.

Biaya tinggi
Tingginya biaya sekolah ini membuat tak semua orangtua menyekolahkan anak mereka di SLB autis. Orangtua yang punya kesadaran tinggi akan hak belajar anak akan menyekolahkan anak mereka di SLB umum. Proses pembelajaran pun dilakukan bersama dengan anak berkebutuhan khusus lainnya.

Di SLB PGRI Trimulyo, Bantul, misalnya, anak-anak autis yang memiliki kecenderungan hiperaktif disatukan dengan anak tunagrahita. ”Anak-anak hiperaktif biasanya sulit berkonsentrasi dan asyik sendiri. Tak jarang mereka sering jatuh dan memukuli teman sendiri,” kata Sri Lestari, guru tunagrahita di SLB PGRI Trimulyo. Sri pun terpaksa mengikat anak-anak hiperaktif ke kursi supaya bisa berkonsentrasi.
Namun, upaya itu tidak berhasil karena mereka tetap berlarian sambil membawa kursinya.

”Terus terang pengetahuan saya soal anak autis memang masih minim, tetapi mereka tetap harus saya asuh,” katanya. Sri sudah sering menyarankan kepada para orangtua untuk membawa anak mereka ke sekolah autis di Yogyakarta. Namun, mereka biasanya menolak karena faktor jarak yang terlalu jauh dan kendala biaya.
Pemerintah Provinsi DIY terus berusaha meningkatkan pelayanan kepada anak berkebutuhan khusus.

”Dari sisi kuantitas, jumlah SLB dan sekolah inklusi yang menangani anak berkebutuhan khusus cukup memadai. Namun, kami terus berupaya meningkatkan kualitasnya,” papar Kepala Bidang Pendidikan Luar Biasa dan pendidikan Dasar Dinas Pendidikan DIY Nova Widiyarto.

Tahun 2007 terdapat 60 SLB di seluruh DIY, enam di antaranya adalah SLB negeri. Selain itu, jumlah Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPI) terus bertambah menjadi 70 sekolah sejak dirintis pertama kali tahun 1997.
Jumlah anak berkebutuhan khusus yang bersekolah, baik di SLB maupun SPPI, sebanyak 3.682 orang. Dinas pendidikan terus menyosialisasikan pentingnya pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Tahun 2006, sebanyak 2.040 anak berkebutuhan khusus belum bersekolah.

Sumber :Kompas.com
Kamis, 8 Mei 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar