Rabu, 11 Maret 2009

Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2005 tentang SNP, menyebutkan bahwa Standar Penilaian Pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri a

Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2005 tentang SNP, menyebutkan bahwa Standar Penilaian Pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: Penilaian hasil belajar oleh Pendidik, Penilaian hasil belajar oleh Satuan Pendidikan, dan Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.

1. Penilaian hasil belajar oleh Pendidik
Dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas. Hasil pemantauan digunakan untuk: Menilai pencapaian kompetensi peserta didik, bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar, dan memperbaiki proses pembelajaran. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui: Pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik; dan ujian, ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik. Untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi diukur melalui ulangan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai.
Kelompok mata pelajaran estetika dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan ekspresi psikomotorik peserta didik, dan untuk kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan dilakukan melalui: Pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan psikomotorik dan afeksi peserta didik; dan Ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.

2. Penilaian hasil belajar oleh Satuan Pendidikan
Bertujuan menilai pencapaian standar kompetensi lulusan untuk semua mata pelajaran. Penilaian hasil belajar untuk semua mata pelajaran pada kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan merupakan penilaian akhir untuk menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Penilaian akhir mempertimbangkan hasil penilaian peserta didik oleh pendidik. Penilaian hasil belajar untuk semua mata pelajaran pada kelompok ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan melalui ujian sekolah/madrasah untuk menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.
Untuk dapat mengikuti ujian sekolah/madrasah, peserta didik harus mendapatkan nilai yang sama atau lebih besar dari nilai batas ambang kompetensi yang dirumuskan oleh BSNP, pada kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, serta kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.

3. Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah
Ini bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional.
Ujian nasional dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. Dan diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun pelajaran.Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: (a). Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; (b). Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; (c). Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; (d). Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Setiap peserta didik jalur formal pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan jalur nonformal kesetaraan berhak mengikuti ujian nasional dan berhak mengulanginya sepanjang belum dinyatakan lulus dari satuan pendidikan. Setiap peserta didik wajib mengikuti satu kali ujian nasional tanpa dipungut biaya. Peserta didik pendidikan informal dapat mengikuti ujian nasional setelah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh BSNP.Peserta ujian nasional memperoleh surat keterangan hasil ujian nasional yang diterbitkan oleh satuan pendidikan penyelenggara Ujian Nasional.

Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah:
a. Menyelesaikan seluruh program pembelajaran;
b.Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan;
c.Lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
d.Lulus Ujian Nasional.

KONTRADIKSI PENILAIAN HASIL BELAJAR SISWA
Undang-Undang No 19 tahun 2005 tentang SNP, menyebutkan penilaian hasil belajar siswa ditetapkan oleh 3 pihak yaitu pendidik (guru) melalui penyelesaian seluruh program pembelajaran dan penilaian akhir untuk 4 kelompok mata pelajaran; satuan pendidik (sekolah) melalui Ujian Sekolah dan pemerintah (melalui UN). Dari ke 3 pihak yang menentukan kelulusan siswa, ternyata yang paling berpengaruh atau menentukan hasil akhir adalah pihak pemerintah melalui hasil UN. Sekalipun siswa telah berhasil melewati penilaian hasil belajar dari pihak guru dan sekolah, namun bila mereka tidak berhasil di UN (yang diselenggarakan oleh pemerintah) maka hasil akhirnya mereka dinyatakan tidak lulus. Artinya UN dengan mudah telah menafikan hasil siswa belajar di satuan pendidikan yang telah diketahui oleh guru secara pasti tentang kemampuannya.

Apalagi dengan penerapan KTSP dimana setiap sekolah dan guru mempunyai peluang untuk menyampaikan pelajaran yang disesuaikan dengan kemampuan siswa dan daerah. Tetapi pada saat UN pemerintah dengan arogan menetapkan pencapaian angka yang sama untuk semua siswa di seluruh wilayah Indonesia dalam standar UN, maka ini adalah bentuk ketidakadilan yang dialami oleh para siswa. Dengan kata lain, pemerintah telah menafikan hasil penilaian yang dilakukan guru dan pihak sekolah, ini semakin menunjukkan kediktatoran pemerintah. Tanpa disadari pemerintah telah melakukan kebohongan publik bahwa guru dan sekolah memiliki hak untuk menilai kelulusan siswa namun kenyataannya itu tidak terwujud.

Secara transparan pemerintah juga telah menyimpang dari legalitas UU Sisdiknas, terutama Pasal 35 Ayat (1): ''Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala''. Pada Bab Penjelasan disebutkan, kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati, sehingga tidak semata-mata hanya didasarkan pada nilai Ujian Nasional saja. Hal ini diperkuat pula oleh Pasal 38 Ayat (2), bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Koordinasi dan supervisi dilakukan oleh dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar, serta provinsi untuk pendidikan menengah. Dengan demikian, pusat tidak memiliki otoritas tersebut, kecuali merumuskan kerangka dasar dan struktur kurikulum untuk pendidikan dasar dan menengah, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Ayat (1).

Lalu mengapa pemerintah begitu memaksakan diri untuk menjadikan UN sebagai stndar yang menentukan kelulusan siswa? Mengapa pula pemerintah tidak memberikan wewenang yang penuh kepada guru dan sekolah dalam menilai kelulusan anak? Dan mengapa juga penetapan standar minimal UN setiap tahun terus meningkat (pada tahun 2005 sampai tahun 2008 berkisar dari 4,25-5,25) tanpa memperhatikan kemampuan siswa di seluruh Indonesia. Apakah dianggap wajar suatu daerah yang terpencil dan memiliki akses yang rendah dalam sarana prasarana diharuskan berkompetisi tidak sehat dengan siswa yang berada di tengah pusat kota? Sepertinya pemerintah dalam menetapkan standar minimal UN semata-mata mengejar target angka standar yang telah ditetapkan dalam renstra pendidikan Nasional? Apakah ada yang memaksa pemerintah untuk melakukannya yang demikian, sampai-sampai para siswa mengalami kezholiman dan ketidakadilan? Adakah sesuatu dibalik itu?

NEGARA DISETIR KAPITALISME GLOBAL
Lazimnya setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dapat dilaksanakan oleh rakyatnya dan membawa kebaikan, dan mampu menyelesaikan persoalan. Namun yang terajadi justru sebaliknya, siswa terbebani, mengalami stress, depresi dan tekanan mental lainnya. Usaha belajar mereka selama 3 tahun dinafikan dan hanya dihargai melalui UN (yang hanya berlangsung beberapa hari dan terbatas pada beberapa mata pelajaran tertentu). Guru juga mengalami hal yang serupa, sudahlah gaji yang diterima seringkali tidak memadai untuk menopang kehidupan, peningkatan kualitas keprofesionalan tidak dikelola secara serius (belum paham tentang KTSP tetapi sudah diharuskan mengajar agar anak mampu mencapai nilai dan kelulusan standar nasional), ditambah lagi jarak tempuh mengajar yang dilalui kadangkala menghabiskan waktu dan tenaga yang tidak sedikit.

Pada akhirnya mereka tidak lagi diperhitungkan untuk menentukan keberhasilan anak dalam “UN”. Keadaan semakin menjadi suram dan kelam, saat para guru(khususnya guru yang mengajar di kelas 9 dan 12 yang mata pelajarannya di UN-kan) di “giring” untuk memfasilitasi anak melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan UN sebagai ”Tim Sukses” untuk menjaga “Mutu Sekolah (siswa lulus 100%, sekalipun dengan cara yang tidak halal).

Orang tua juga terkena getahnya, mereka terikut arus untuk memaksakan anak-nya “lulus UN”, dengan memasukkan mereka pada lembaga BIMBEL sehingga tanpa disadari orangtuapun lupa dengan aspek-aspek perkembangan alami anak dalam belajar dan memposisikan mereka seperti “mesin komputer” untuk harus segera menyelesaiakan bank-bank soal berbagai matapelajaran dan mengikuti tryout skala sekolah, kecamatan, kota, kabupaten, provinsi sampai nasional. Pada akhirnya murid, guru dan orangtua adalah korban secara langsung dari penerapan kebijakan yang insikronisasi.
Bila UN menimbulkan kemudharatan, mengapa kebijakan tersebut tetap dipaksakan. Para pemimpin negeri ini sesungguhnya telah menggadaikan dirinya kepada Sang Majikan yang memiliki “mesin-mesin penghancur”.

Mesin-mesin penghancur pendidikan bangsa ini adalah pemahaman-pemahaman sekulerisme-liberalisme-materialisme yang disebarkan oleh Kapitalisme. Ideologi Kapitalisme dan para Kapitalis Global telah menyetting pendidikan dinegeri-negeri berkembang menjadi industri-industri ekonomi untuk meraup dan menghisap keuntungan tanpa memperhatikan aspek kemanusiaan. Aspek-aspek kemanusiaan hanya untuk mereka yang memiliki modal besar, penghisap darah orang-orang yang teraniaya dan serakah. Pada akhirnya, pendidikan telah mengalami pergeseran paradigma yang tadinya proses pembinaan untuk memanusiakan manusia yang memahami hakekat penciptaanNya , bertanggung jawab memelihara alam semesta yang diperuntukkan Al-khalik sebagai tempat tinggal dan menjadi orang yang bertaqwa sebagai konsekuensi pengakuan kelemahan dan ketundukkan total kepada “Sang Pencipta”.

Sayang, kondisi ini telah berbalik 180 derajat. Sistem pendidikan yang berlaku di negri ini adalah suatu titipan “Sang Majikan” yang harus diberlakukan sebagai mesin untuk mencetak individu-individu yang siap menjadi tenaga kerja murah bagi “pabrik-pabrik” yang ada dalam kancah “pasar bebas”mereka. Dan untuk mencetak kader-kader “Sang Majikan” yang menjadi penopang kepentingannya dalam mempertajam cengkeramannya (memperkokoh penancapan Ideologi Kapitalisme dan legalisasi Imperialisme terhadap SDA yang dimiliki bangsa ini).

Suatu hal yang wajar jika kebijakan pendidikan yang berindikasikan memperhatikan aspek kemanusiaan hanyalah sebagai tambal sulam kebobrokan yang dilakukan agar tidak diketahui hakekat tujuan mereka dalam melakukan Imperialisme. Sehingga “angan-angan” yang ditawarkan tidaklah serius diwujudkan, kecuali diperuntukkan hanya untuk sebagian kecil dari rakyat ini sebagai upaya menutupi keserakahan dan ketamakan “Sang Majikan”.

Sebenarnya bukan suatu hal yang mustahil bagi pemimpin kita untuk keluar dari cengkeraman “Sang Majikan”. Solusi pengganti system yang rusak ini, hakekat keberadaannya telah nyata. Sang Pencipta telah utuh memberikannya melalui “Sang Tauladan” manusia dan telah dibuktikan oleh para penjuang sejatinya sekian abad lamanya. Itulah pendidikan Islam yang dibangun dibawah ideology Islam.

Sejarah telah mencatat tentang keberhasilan Ideologi Islam dengan Khilafah Islamiyyah dalam menerapkan system pendidikan yang mampu mencetak generasi yang berkualitas dan diakui oleh pihak lawan. Cukuplah pengakuan dari Robert Briffault dalam Buku “Making of Humanity” yang menyatakan: “Dibawah kekuasaan orang-orang Arab dan Moor( kaum Muslimin) kebangkitan terjadi, dan bukan pada abad ke-15 Renaissance sesungguhnya berlangsung. Spanyol-lah tempat kelahiran Eropa, bukan Italia. Setelah terus menerus mengalami kemunduran, Eropa terperosok ke dalam masa kegelapan, kebodohan dan keterbelakangan.

Sedangkan pada saat yang sama, kota-kota Sarasin (kaum Muslimin) seperti Baghdad, Kairo, Cordova dan Toledo menjadi pusat-pusat peradaban dan aktivitas pendidikan. Disanalah kehidupan baru muncul dan berkembang menuju tahap baru evolusi umat manusia. Sejak saat pengaruh kebudayaan mereka mulai dirasakan, sampai kemudian menggerakkan roda kehidupan. Melalui para penerusnya di Oxford (yaitu penerus kaum Muslim di Spanyol), Roger Bacon belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab. Bukanlah Roger Bacon atau orang-orang yang sesudahnya yang berhak menyandang penghargaan karena telah memperkenalkan metode eksperimental. Roger Bacon tidak lebih hanyalah salah satu orang yang mempelajari ilmu pengetahuan dan metode milik kaum Muslim untuk kepentingan orang Kristen-Eropa; dan dia tidak pernah jemu mengatakan bahwa Bahasa Arab dan Ilmu pengetahuan kaum Muslim merupakan satu-satunya jalan bagi para koleganya untuk mendapatkan pengetahuan yang sejati. Perdebatan mengenai siapa sesungguhnya yang menemukan metode eksperimental merupakan salah satu wujud ketidak pahaman kolosal dari para pendiri peradaban Eropa. Sejak masa Roger Bacon, metode eksperimental milik kaum Muslim telah tersebar luas dan dimanfaatkan secara antusias di seluruh Eropa” (Robert Briffault,”The Making of Humanity”London.1938).

Lalu Bagaimana cara untuk mewujudkannya, pertama yang harus dilakukan adalah menghilangkan ketergantungan dari “Sang Majikan” baik dalam bentuk konsep maupun dana. Untuk konsep bukanlah sesuatu yang sulit. Yang menjadi masalah adalah, mau atau tidak mengambil dan menerapkan konsep pendidikan yang lahir dari Ideologi Islam. Kemandirian dalam hal dana juga bukan suatu hal yang tidak mungkin. Negeri ini adalah negeri yang kaya raya, sumber pembiayaan pendidikan dapat diambil dari seluruh potensi sumber daya alam yang dioptimalkan. Sebagai gambaran penerapan pendidikan gratis di Indonesia, sejatinya dapat direalisasikan. Dalam APBN 2007, anggaran untuk sektor pendidikan adalah sebesar Rp 90,10 triliun atau 11,8 persen dari nilai total anggaran Rp 763,6 triliun. (www.tempointeraktif.com, 8/1/2007). Angka Rp 90,10 triliun itu belum termasuk anggaran untuk gaji guru yang menjadi bagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang pendidikan, serta anggaran kedinasan.

Misalkan kita ambil angka Rp 90,1 triliun sebagai patokan anggaran pendidikan tahun 2007 yang harus dipenuhi. Dengan melihat potensi kepemilikan umum (sumber daya alam) yang ada di Indonesia, dana sebesar Rp 90,1 triliun akan dapat dipenuhi, asalkan penguasa mau menjalankan Islam, bukan neoliberalisme. Berikut perhitungannya yang diolah dari berbagai sumber:
1.Potensi hasil hutan berupa kayu (data 2007) sebesar US$ 2.5 miliar (sekitar 25 triliun)
2.Potensi hasil hutan berupa ekspor tumbuhan dan stwa liar (data 1999) sebesar US$ 1.5 miliar (sekitar 15 triliun)
3.Potensi pendapatan emas di Papua (PT Freeport) (data 2005) sebesar US$ 4.2 miliar ( sekitar 40 triliun)
4.Potensi pendapatan migas Blok Cepu pertahun sebesar US$ 700 juta-US$ 1.2 miliar (sekitar Rp 10 triliun

Dari empat potensi di atas saja setidak-tidaknya sudah diperoleh total 90 triliun. Kalau masih kurang, jalankan penegakan hukum dengan tegas, Insya Allah akan diperoleh tambahan sekitar Rp 54 triliun. Sepanjang tahun 2006, ICW (Indonesia Corruption Watch) mencatat angka korupsi Indonesia sebesar Rp 14,4 triliun. Nilai kekayaan hutan Indonesia yang hilang akibat illegal logging tahun 2006 sebesar 40 triliun. Jadi, mewujudkan pendidikan gratis di Indonesia sebenarnya sangatlah dimungkinkan.

Yang menjadi masalah sebenarnya bukan tidak adanya potensi pembiayaan, melainkan ketidak becusan Pemerintah dalam mengelola negara. Pendidikan mahal bukan disebabkan tidak adanya sumber pembiayaan, melainkan disebabkan kesalahan Pemerintah yang bobrok dan korup. Pemerintah seperti ini jelas tidak ada gunanya. Yang dibutuhkan rakyat adalah pemerintah yang amanah, yang setia pada Islam dan umatnya, bukan pemerintah yang tidak becus, yang hanya puas menjadi komparador asing dengan menjalankan neoliberalisme yang kafir.

Sumber : tokoh islam.online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar