Rabu, 11 Maret 2009

Belajar di Sekolah Berasrama, Membentuk Siswa Berkarakter Unggul

Meski mematok biaya tinggi, sekolah berasrama tetap banyak diminati. Terlepas dari kekurangannya, apa saja kelebihan dan keunggulan yang bakal didapat siswa?
Hari masih pagi, para siswa bersiap-siap berangkat ke ruang belajar. Mereka tidak perlu menunggu kendaraan jemputan atau bergegas mencari angkutan umum. Hanya dengan melangkahkan kaki tak sampai ratusan meter, para anak didik itu sudah tiba di tempat belajar. Saat jarum jam menunjuk ke angka tujuh, mereka sudah berada di ruang kelas. Dengan wajah yang masih segar, para anak didik itu siap menerima pelajaran.

Begitulah gambaran keseharian siswa boarding school. Mereka tinggal di asrama yang berada satu kompleks dengan ruang tempat belajar. Belajar pun lebih teratur. Pengajar setiap saat membuka tangan, menerima anak didik untuk mengkonsultasikan pelajaran yang dianggap masih belum dipahami betul. Tak hanya pelajaran, aspek lain dari proses pendidikan anak juga mendapatkan perhatian.

Di SMA/MA Insan Cendekia, Serpong, misalnya. Meski tetap menggunakan kurikulum nasional, tapi ada pengayaan materi pelajaran. Ada penambahan materi yang khas sesuai misi lembaga pendidikan ini. Yakni, menyiapkan calon pemimpin masa depan yang mengusai ilmu pengetahuan dan teknologi, berdaya juang tinggi, kreatif, inovatif, serta mempunyai landasan iman dan taqwa yang kuat.

Kurikulum diperkaya dengan penguasaan basic knowledge of science and technology serta peningkatan iman dan taqwa. Pendidikan agama, misalnya. Berbeda dengan sekolah umumnya, pelajaran ini diajarkan lebih. Ada penambahan waktu dibanding sekolah umum lainnya. Hal yang sama dilakukan pada pelajaran matematika, fisika, kimia, biologi, bahasa Arab, bahasa Inggris, dan komputer.

Selama sepekan, menurut Drs Jafar, Kepala SMA/MA Insan Cendekia, Serpong, proses pembelajaran berlangsung selama 60 jam. Ini berarti, 18 jam lebih banyak dari pada waktu yang ditetapkan dalam kurikulum nasional yang berjumlah 42 jam. Untuk itu, pembelajaran di sekolah berasrama ini dilangsungkan dari pukul 07.00 - 13.35.

Lain SMA/MA Insan Cendekia, lain pula dengan SLTP-SMA Internat Al Kausar, Sukabumi. Di lembaga pendidikan yang menawarkan pendidikan 5 tahun untuk dua jenjang pendidikan (SMP dan SMA) ini, tidak semua materi pelajaran dalam kurikulum diajarkan kepada anak didik satu per satu. ''Materinya yang esensial saja,'' tutur Douglas Prabowono, Direktur Eksekutif Internat Al Kausar.

Materi pelajaran dipilih hanya yang kontekstual. Yakni, pelajaran yang ada kaitan dengan kehidupan sehari-hari. Jadi, tidak semua materi umum digunakan. Masalahnya, kata dia, setelah dikaji, ternyata ada topik yang berulang. ''Soalnya, kita kan satu paket, SMP dan SMA,'' tuturnya. Untuk kedua jenjang tersebut, proses pendidikan berlangsung selama 5 tahun, bukan enam tahun.

Tak hanya itu. Menurut Douglas, ada pula pelajaran yang diintegrasikan. Misalnya, matematika dengan ekonomi. Toh, meski ada percepatan masa belajar, tapi proses pembelajaran berlangsung tak jauh beda dengan sekolah kebanyakan: dari pukul 07.00 hingga 13.00. Selebihnya, anak didik mengikuti ekstrakurikuler, seperti kegiatan olahraga. ''Kita terapkan belajar tuntas. Jadi, pekerjaan rumah (PR) dikurangi.''

Kurikulum pendidikan dan pembinaan siswa, kata dia, dirancang agar dapat membentuk siswa yang memiliki karakter unggul. Keunggulan tersebut tertuang dalam Dimensi Keunggulan Murid (DKM), yaitu berkepribadian islami, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki keterampilan, kemandirian, dan kepemimpinan. DKM ini dijadikan kualifikasi kelulusan.

Dia mengatakan, Internat Al Kausar memadukan pola pendidikan modern dengan nilai-nilai agama Islam. Selain dimaksudkan menyiapkan anak didik yang berkarakter, berkepribadian islami, dan mengusai iptek, juga pembinaan rohani yang menjadi ciri khas tersendiri. Semuanya terpadu dalam pola pembinaan di sekolah dan asrama.

Dengan pola semacam itu, kata dia, pada akhir masa pendidikan anak didik akan mampu mencapai nilai ujian akhir nasional rata-rata minimal 7,5. Mereka pun mampu menghapal 2 juz Alquran, hadis-hadis, dan doa-doa pilihan. Di samping juga mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris pada tingkat intermediate, bahasa Arab untuk memahami Alquran, mengusai penggunaan komputer, membuat dan mempresentasikan karya tulis, serta mengusai minimal 3 cabang olahraga.

Harapan yang sama juga menjadi target yang akan dicapai di SMA/MA Insan Cendekia. Karena diasramakan, maka selama 24 jam siswa dapat melaksanakan kegiatannya, termasuk aktivitas keagamaan dengan bimbingan penuh dari guru. Pendidikan agama, misalnya, tidak khusus diajarkan oleh guru agama saja, tapi dalam setiap pelajaran apa pun diselipkan pendidikan keagamaan berkaitan dengan materi yang diajarkan.

Dalam segi keilmuan, kualitas akademik dilakukan secara total. Guru tidak sekadar mengajar, tapi juga memotivasi anak didiknya untuk berprestasi dan memiliki daya juang. Ada guru asuh yang membina beberapa siswa, memonitor perkembangan dan kesulitan yang dihadapi anak didiknya. Siswa yang tergolong lemah, diberi pembinaan khusus. Prinsipnya, jangan sampai anak gagal.

Semua itu, tentu saja, harus dibayar dengan biaya yang tidak sedikit. Jumlah yang mesti dikeluarkan, cukup berat dirasakan bagi anak keluarga kurang mampu. SMA/MA Insan Cendekia, misalnya. Jafar menuturkan, uang masuk dipatok Rp 12 juta dan SPP Rp 1 juta per bulan. ''Itu sudah termasuk biaya asrama dan makan,'' tuturnya.

Di Internat Al Kausar, kata Douglas, uang masuk ditetapkan sebesar Rp 20 juta. Beban ini hanya dikenakan sekali untuk satu paket, SMP dan SMA. Setiap bulan siswa dikenakan SPP sebesar Rp 2 juta. Seperti halnya di Insan Cendekia, biaya tersebut sudah termasuk asrama dan kebutuhan lainnya. ''Itu hampir separuh kembali ke mereka,'' dia menjelaskan.

Dengan biaya sebesar itu pun, sekolah ini tetap saja diminati banyak calon siswa. Buktinya, meski ujian akhir nasional di jenjang SMP belum berlangsung, tapi saat ini sudah banyak calon siswa yang mendaftarkan diri. Di SMA/MA Insan Cendekia, menurut Jafar, sudah 151 calon yang mendaftar. Padahal, sekolah ini hanya mampu menerima kurang dari itu, sekitar 120 orang. ''Kita perkirakan sekitar 600 orang pendaftar,'' tuturnya. Sekolah ini tidak mensyarakatkan standar nilai dari sekolah asal kepada calon siswa yang mendaftarkan diri. Calon yang lulus tes, murni berdasarkan hasil seleksi.

Seperti halnya Insan Cendekia, di Internat Al Kausar pun sudah ada calon siswa yang mendaftar. Hingga pekan ini, menurut Douglas, jumlahnya sudah belasan orang. Lembaga pendidikan ini hanya menerima sekitar 60 siswa lulusan SD. Lulusan SMP tidak diterima karena pendidikan dilangsungkan satu paket, SMP-SMA. Bagaimanapun, ini menggambarkan, meski tergolong mahal bagi ukuran orang kebanyakan, tapi boarding school -- nyatanya -- tetap saja diminati banyak calon siswa.

Ada Plus, Ada Minusnya

Pendidikan dengan model berasrama, bukan tidak punya kekurangan. Ada plus, tapi ada pula minusnya. Prof Dr Sutjipto melihat, kekurangan model pendidikan semacam ini karena anak-anak terpisah dari orang tua dan masyarakatnya. ''Itu bisa membuat kehilangan esensi dalam hidup dan kekurangan kasih sayang,'' tutur rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini.

Kelebihannya, menurut Sutjipto, anak didik bisa dipantau seharian penuh, selama 24 jam. Tak hanya itu. Dia mengatakan, dengan pembelajaran seperti ini tidak hanya aspek intelektual yang diperhatikan, tapi semua aspek bisa diperhatikan.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan tersebut, Sutjipto mengatakan, kalau boarding school dikelola dengan bagus, bisa melahirkan anak didik yang bagus. Sebaliknya, kalau dikelola dengan asal-asalan, hasilnya pun tak jauh dari itu.

Sutjipto melihat, mereka yang memasukkan anaknya ke dalam pendidikan yang dikelola secara boarding school adalah biasanya orang tua yang mampu secara finansial. Namun itu, katanya, bukan berarti mereka mau lepas dari tanggung jawab, tapi lebih karena ingin memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya.

Barkaitan dengan hal tersebut, Sutjipto memandang perlunya anak telantar dan anak jalanan diberikan pendidikan semacam boarding house. Ini sejalan dengan amanat undang-undang. Dia mengakui, dengan memberikan pendidikan semacam boarding house bagi-anak telantar, memang membutuhkan biaya dalam jumlah yang besar. ''Tapi kalau dibiarkan, sosial cost-nya akan lebih banyak dalam jangka panjang,'' ujarnya. bur

Sumber : Republika (26 Maret 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar