Sabtu, 11 April 2009

Hari Pendidikan Nasional: Pendidikan untuk Siapa?

"Pilihlah sekolah menengah kejuruan agar cepat mendapat pekerjaan setelah lulus." Demikian kira-kira pesan iklan layanan masyarakat yang disampaikan Departeman Pendidikan Nasional. Iklan itu mengajak generasi muda usia sekolah menengah memilih sekolah menengah kejuruan ketimbang sekolah menengah umum. Iming-imingnya jelas: kemudahan mendapat pekerjaan. Sebab, menurut nalar pemasang iklan itu, lulusan sekolah kejuruan memiliki keahlian teknis yang dapat langsung diterapkan, dan tak perlu meneruskan ke pendidikan tinggi setingkat akademi atau universitas.

Ada yang salah dalam iklan layanan itu. Pertama, iklan tersebut menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan fasilitas pendidikan tinggi yang berbiaya rendah. Artinya, alih-alih menurunkan biaya pendidikan tinggi untuk seluruh rakyat, pemerintah malah mendorong tunas-tunas bangsa tidak meneruskan pendidikan formal yang sebenarnya layak mereka dapatkan. Kedua, iklan itu juga menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja yang layak bagi lulusan pendidikan tinggi. Demi menghindari tingginya angka pengangguran yang sebagian besar berasal dari lulusan pendidikan tinggi, pemerintah menghalangi generasi muda mengembangkan diri dan memilih memperbanyak sumber daya manusia kelas buruh.

Perlakuan dan pilihan ini warisan mental dan siasat penjajah dulu. Dari sejarahnya, sekolah-sekolah kita dibentuk untuk mendukung substruktur industri dan dunia usaha. Penjajah Belanda memang tidak pernah berniat membangun universitas di negeri jajahannya, sehingga yang dibangun adalah institut-insitut yang menghasilkan kelas pekerja. Alasan kuat atas kebijakan tersebut adalah ketakutan kaum penjajah akan lahir kaum pemikir yang kemudian mengkritisi kolonialisme di tanah jajahannya bila pendidikan sekelas universitas dibangun.

Nuansa penerapan kurikulum berbasis industri ini terlihat jelas dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, yang telah dijalankan beberapa tahun ini. Sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah hanya mendorong peserta didik untuk berhasil menyelesaikan pendidikan dengan ukuran angka tertentu, tanpa peduli pada proses yang telah dijalani tiap-tiap peserta didik.

Hingga saat ini belum ada realisasi kurikulum yang secara konkret mengembangkan potensi diri dan pemikiran peserta didik. Sedikit sekali lembaga pendidikan seperti sekolah yang menyediakan fasilitas pengembangan individu yang berbasis konteks sosial dan budaya nasional. Yang ada melulu pengetahuan teknis dan intelektual statis yang kaku. Bila ada, tentu masyarakat dituntut pembayaran yang sangat mahal untuk itu. Masyarakat yang tidak mampu menyediakan dana untuk anak mereka tentu tidak dapat memilih, selain menerima sistem pendidikan kaku warisan penjajah Belanda.

Kondisi ini diperburuk dengan kualitas guru yang tersedia. Bila pada masa lalu wibawa guru begitu besar dan dihormati, pada masa sekarang figur guru tidaklah begitu mempesona. Profesi ini pun bukan pilihan bagi kebanyakan lulusan pendidikan tinggi, karena hasil yang didapat dari segi ekonomi tidak begitu menjanjikan.

Situasi dilematis ini mengakibatkan pula buruknya kinerja guru selama ini. Tekanan ekonomi, rendahnya penghargaan masyarakat, dan alasan-alasan struktural kepegawaian menyebabkan banyak guru yang enggan mengembangkan kemampuan. Terbukti saat diberlakukan KBK, banyak guru yang mengeluh keterbatasan dana dan fasilitas untuk melakukan hal tersebut. Padahal, bila ditelisik, banyak guru yang enggan menerapkan kurikulum tersebut karena mereka dituntut untuk mengembangkan dan merancang kurikulum sendiri, termasuk menggunakan berbagai sumber informasi di luar buku teks.

Buruknya kinerja dan perkembangan dunia pendidikan yang dirasa amat lambat bisa saja akibat minimnya anggaran pendidikan yang dikucurkan pemerintah. Memang ada angin segar dengan ditetapkannya dana pendidikan 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun kebijakan tersebut juga tidak pernah terealisasi hingga sekarang.

Ada beberapa kalangan yang menganggap masalah kelemahan dan kekurangan kualitas pendidikan lebih didorong oleh kemiskinan yang semakin parah di Indonesia. Tapi kita perlu mencoba berkaca pada negara lain, India dan Kuba misalnya. Pendidikan di kedua negara tersebut bisa maju meski kemiskinan masih meraja lela. Pemerintah kedua negara tersebut memahami betul fungsi pendidikan, sehingga sistem pendidikan dan segala fasilitasnya tidak menjadi masalah yang mendasar.

Agaknya sistem pendidikan di Indonesia memang masih mengawang-awang. Kusutnya permasalahan mulai dari kebijakan buku paket, ujian nasional, sampai tudingan penunjukan seseorang menjadi menteri pendidikan yang salah belum tersentuh untuk diselesaikan. Yang terjadi kemudian merebaknya sekolah alternatif. Mulai dari sekolah nasional plus hingga home schooling pada akhirnya terpaksa ada di Indonesia. Hal itu terjadi karena sikap kritis masyarakat yang semakin menuntut perbaikan sistem pendidikan. Perlu komitmen dan keterbukaan dari semua pihak untuk menyelesaikan persoalan ini. Karena, seperti pernah dikemukakan mantan Menteri Pendidikan Nasional Daoed Joesoef, jangan pernah main-main dengan pendidikan.

Sumber :VHR corner.com
2 Mei 2007 - 15:5 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar